Juru Selamat Datang Terlambat
Dia muncul di pantai,
mengenakan jubah dari kulit teripang,
“Bagaimana Anda beribadah ribuan tahun
di dasar lautan, Tuanku?”
Saya berjualan sari laut, katanya.
Tetapi manusia selalu bodoh dari waktu ke waktu.
“Kenapa, Tuan?”
Mereka memesan ayam goreng di warung sari laut,
dia menjawab sambil tertawa lalu diam ketika orang-orang
mencium punggung tangannya dengan khusyuk.
Ini bukan puting susu, tak perlu rebutan
dia tertawa.
Kami tenggelam dan terdampar di Palaguna, kenangnya
; di sana tak ada kapur apalagi sirih, talam hanya berisi garam,
dan tak ada makanan yang boleh matang oleh api,
sementara kami harus menyugi gigi dengan ibu jari.
Kini dia telah muncul dari lautan,
penantian yang sungguh sebentar bagi pendosa
dan terlampau lama bagi orang-orang saleh.
Sementara kota yang dulu ia tinggalkan sudah berubah
menjadi jalan raya, kemacetan, pabrik dan mal.
Dia mencari sebuah perahu untuk ditenggelamkannya
sekali lagi.
2017
Berahi 4
Tidak penting lagi gelanggang perak
atau ayam bertaji intan, tidak ada yang
mengalahkan selangkangan Tenriabeng baginya,
dia memesan kondom dan viagra sehari
setelah pertemuan pertama mereka di loteng.
Seorang peramal ditetak dengan kelewang
kanak-kanak dijemur dan dipisahkan dari ibunya,
kurir pos dipenggal karena macet dan ia terlambat
“tidak ada yang salah
dari menikahi adik sendiri,”
dia terus berbicara tentang cinta.
Berahi telah mengubah bara jadi api,
tidak ada yang terbakar tetapi
semua merasakan panasnya,
dia tak mampu mengubah cinta
menjadi air atau angin.
2017
Percakapan Sawerigading dengan We Tenriabeng
“Hanya karena kujumput sirih dari ceranamu
bukan berarti kuserahkan diri untuk kau miliki.”
“Tetapi sayang, internet menyediakan semua
ciri-ciri perempuan yang sedang berbohong,
kau termasuk dan kebohongan, kau tahu,
bisa lahir dari cinta, selebihnya dari rasa malu.
Lantas apa lagi yang akan kausangkali jika
kujanjikan untukmu bulan madu di Bottilangi
dan kita bisa bercinta di atas busa air Peretiwi?”
“Hanya karena kupuji bidang dadamu,
bukan berarti kuserahkan kepalaku untuk sandar.”
“Kemarilah, Tenriabeng, dunia telah memisahkan kita
seperti gigi susu yang terenggut dari gusi,
kau kembali untukku sebagai gigi yang baru
Dewata telah mengirim tikus untuk menyatukan kita.”
“Tidak kutemukan apa yang kucari pada dirimu
dan memang kau bukan tempatku mencari.
Berlayarlah ke Cina, Kakaku, kau akan temukan
seseorang yang tak kau cari.”
2017
Berbekal Sehelai Rambut
Kelak kau bisa membawanya ke salon terbaik
sekadar keramas atau merawat bulu mata yang
habis karena kau rindukan, tetapi
sebelum berangkat bawalah rambutku ini
rambut yang dicuci dengan bunga tujuh rupa,
rambut yang sama akan kau temukan tumbuh
di kepalanya–kepala yang ditumbuhi ingatan
tentang benua yang jauh, perahu layar, angin limbubu,
lelaki berbulu, dan iringan-iringan orang Luwu
yang datang tanpa undangan.
Kau berencana ke seberang benua dan kayu dari Mangkutu
telah berubah jadi perahu, sudahkah kautemukan
nahkoda yang tahu nama nabi untuk ombak dan badai?
Semua hari adalah hari baik bagi pelayaranmu,
tak kau perlukan bernapas lewat lubang hidung kirimu
meski kau akan berangkat untuk seorang gadis.
Begitulah hingga perahu diamuk badai dan kau
korbankan sejumlah budak dan Orosada untuk lautan.
Di depan sana, anjungan menyambutmu tanpa lengan terbuka
apalagi kalungan bunga, tetapi niatmu liut dan sehelai
rambut di sakumu masih menguarkan aroma bunga.
2017
Sebelum Berburu
Kau harus berlari secepat rusa
sebelum belajar membuat simpul dan memasang jerat.
Lalu kapan belajar berkuda dan melempar tombak,
tanyamu. Pada rasa ingin tahu, ada jawaban yang kau cari
tetapi pada rasa ingin tahu, pertanyaan menyembunyikannya.
2017
Kawin Angin
Kukirim kucing belang tiga
dan seekor kunang-kunang,
pada angin, pada yang terasa
tak teraba, pada dingin malam,
kukirim juga kau untuk mengikuti
jalan mereka.
Kau tidak perlu menapaki tangga
kelewang atau menyabung diri dalam
petir dan gemuruh badai, tetapi apa,
“apa yang lebih susah dari membuat
We Cudai jatuh cinta?”
Angin telah membuka palangan bilik
dan menyingkap jumbai kelambu.
Namun kau masih berdiri bersama sepi,
bersama suara-suara yang menyaru
menjadi tembang pengantar tidur
di dalam kepalamu.
“Angin pulakah yang harus
menjadi ayah untuk anak-anakmu?”
2017
Tak Ada Sumur di Ladang
Tenriabeng tak pernah lagi menumpang mandi
karena sekarang bukan musim kemarau. Jadi jangan
pernah kau merebut timbaku, meski sungguh
hanya pada sumurmulah aku terus menguras
air untuk membasuh batu yang kugunakan
mengasah pisau yang kelak akan memutus nadimu.
2017
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Faisal Oddang
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi 21 Januari 2017