Intro
Ia sudah menyangka, jadi perantara
bagi sebuah cerita. Karenanya, ia memilih
duduk jenak ketika kau mulai bicara.
Ia tak mau perhatianmu mendadak beralih
pada hal-hal tak penting. Dan ia biarkan
kau mengambil tempat, tepat di dalam hikmat.
Di depan, di tengah atau nanti ketika aliran
terasa begitu pepat, kau akan dijadikannya hebat.
Mengatasi hal-hal buruk dan bersiasat busuk
bukan keahliannya. Dia hanya akan menghibur
supaya kau tak merasa hidupmu hanya untuk
merutuki kesalahan dan kesalehan diri,
lalu memutuskan berkarib dengan sepi, dan
menyangka ini saat tepat menggugurkan janji.
2016
Ketika Pavarotti Menyanyi Pietà
”Ada yang lebih pedih
daripada luka,“ katamu,
semisal menuliskan puisi
tentang kasih.
”Karena kasih itu sempurna?“
Lelaki yang tampak lelah bertanya.
”Karena kasih itu seperti seorang ibu.“
Dia berbisik. Suaranya timbul tenggelam
di antara isak. Dia memondong jasad
anaknya.
”Ada yang lebih tak pasti
dari masa depan,“ katamu,
semisal mengira bagaimana
puisi tentang kasih itu akan
dibacakan.
”Seperti saat ini?
Ketika Pavarotti menyanyi Pietà?”
Seorang perempuan, kukira ia – kekasih lelaki itu,
ikut menimpali.
”Seperti masa lalu,” katanya sambil
terus menangis. Airmatanya seakan
tak pernah habis.
Tak kulihat lagi
jasad anak
yang sedari tadi
dibawanya.
Mungkin ia telah menguburkannya.
2016
Dedy Tri Riyadi, lahir di Tegal, Jawa Tengah. Sehari-hari bekerja sebagai pekerja iklan di Jakarta. Pernah bergiat di beberapa komunitas sastra, tapi sekarang lebih tekun merawat blog puisinya. Buku puisinya yang sudah diterbitkan antara lain; Gelembung (2009) dan Liburan Puisi (2014), serta Petualangan Suara (2016).
Rujukan:
[1] Disalin dar karya Dedy Tri Riyadi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi 11-12 Februari 2017