Anakku Mendorong Kursi – Penjaga Menara – Puisi dan Batu – Rumah Serangga Itu
Anakku Mendorong Kursi
Suatu kali, ketika musim sedang sepi,
anakku gemar mendorong kursi.
Ia berputar-putar di ruang tamu
menabrak buku-buku, genangan hujan,
kenangan, waktu.
Anakku kerap mendorong kursi ketika
malam hari. Ketika aku lupa mengajarinya
bagaimana cara mengusir imsomnia. Ketika
aku sibuk mereka-reka: besok, apa yang bisa
kusebut sebagai pekerjaan – setidaknya sebuah
rencana.
Anakku sibuk mendorong kursi. Ia mengulanginya
setiap hari, setiap pagi. Ia mendorongku, mendorong
waktuku
menebalkan kesabaran, menajamkan kesadaran.
Anakku riang mendorong kursi. Deritnya sampai
ke kamar tetangga. Deritnya mengulang-ulang
pertanyaan:
apa tak sebaiknya mendorong mobil mainan?
Pagesangan, 13 Pebruari 2017
Penjaga Menara
Di batas pandang matanya yang lamur oleh usia,
ia menyaksikan kedatangan dan kepergian.
Kecuali senja,
hampir tak ada lagi dari yang datang dan pergi itu
berkenan singgah di tempatnya.
Kecuali senja:
agar semua tak menjadi seperti dirinya:
terus-terusan berlabuh
tak bisa berlayar,
menyaksikan nuh terus berlayar.
Pagesangan, Februari 2017
Puisi dan Batu
Percuma kau sandingkan puisi dengan batu,
ia hanya akan menjadi sampah, dan ingatan-ingatan
kecil yang segera dikhianati.
Percuma kau sandingkan puisi dengan batu.
Batu hanya dendam, keberdayaannya pada cuaca
siasat belaka— agar kelak, di musim yang lupa,
orang-orang dari kota akan memungutnya,
hanya untuk merajam rumahmu.
Pagesangan, 15 Februari 2017
Rumah Serangga Itu
Ah, rumah serangga itu:
aku sudah merusaknya tadi, mengurangi satu
yang menghalangi jalan masuk. Mengurangi
kecurigaan kalian terhadapku.
Nyatanya, aku tak pernah tahan di luar.
Aku selalu suka kembali ke tempat itu.
Aku berlindung di rumah itu.
Berlindung dari suara-suara
yang berteriak di pasar ikan,
menghardik-hardik di pos jaga,
gemuruh kasar di terminal,
caci maki di toilet umum, bangkai anjing
dan racauan lalat di tempat sampah,
batuk ketus di perpustakaan,
puisi getir di taman budaya,
hujan murung di depan museum.
Untuk apa?
Di kepalaku; rumah serangga itu,
telah menyimpan penuh museum itu,
museum suara.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Tjak S Parlan
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 5 Maret 2017