Mata Ikan (* – 228 (* – Di Sut Yat-Sen Memorial Hall – Cu Cai Kiok1
Mata Ikan (*
adakah lambung kapal layar
yang lebih menawan
daripada ini lambung kapal
bermata ikan
adakah lambung bangsa
yang lebih asam
daripada lambung kami yang
bertolak ke selatan
ketika itu, kami mengira
bisa menaklukkan tanah barbar
ketika itu, kami menyangka
bisa menambang pundi-pundi uang
tetapi angin musim barat daya
yang berhembus di nanyang
lamat-lamat terdengar jua
bagai isak tertahan
di kampung halaman
barangkali — katamu — kami
hanyalah budak; berpeluh
dipanggang matahari terik,
menggigik diguyur hujan tropis
dijerat candu, judi
dan perempuan murahan
hingga hutang kami menjualng
setinggi maras, hingga peluh kami
menggenang sedalam kelabat
namun revolusi di tanah kelahiran
kelak, kau tahu, tak cuma
mencatat nama-nama mereka
yang berniaga ke selatan
melainkan juga
air mata kami
yang tercurah
di mong kap san
sepanjang tahun-tahun
yang rusuh dan bimbang
setelah turun dari kapal
228 (*
“dari saanalah bermula pembantaian!”
ujar temanku wu ting kuan, sambil
menunjuk ke seruas jalan
suaranya sedikit menyimpan
kegusaran, barangkali dendam
dari masa silam
yang ia baca dan dengar
sepenggal demi sepenggal
tapi aku yang datang dari jauh
gugup membayangkan
petugas darii kantor tembakau,
juga itu polisi yang mengungsi
dari daratan — bengis
merampas rokok ilegal jualan
si janda malang
di muka gedung-gedung pertokoan,
di antara lalu lalang orang
samar kulihat bebayang
seorang lelaki yang dulu terkapar
ketika mencoba menentang
kesewenangan, ketika
membela kampung halaman
“ya, dari sanalah berawal kemarahan,”
kata wu ting kuan seperti menahan geram
lalu mereka pun berbaris,
turun ke jalan-jalan, berderap
menyambut republik china
dengan spanduk dan dada terkoyak
: seraya merindukan nippon
yang membangun stasiun kereta,
gedung-gedung dan jembatan
‘taiwan bukanlah zhongguo!’
kudengar seseorang serak berteriak
menjelang pelantikan presiden,
bagaikan suara si mati
yang bertahun-tahun lamanya
terbungkam
saat teror putih berdesing
di jalan raya, merayap
di lorong-lorong; singgah
dari rumah ke rumah
ah, di pojok museum penyesalan;
di antara nama-nama terbaring,
potret kusam dan surat cinta
penuh bercak air mata
diam-diam aku pun terkenang
pada kata kakek:
“adikku dulu bergabung
dengan pasukan chiang dan
lari ke taiwan selepas perang.”
kutemukan wu ting kuan masih
termangu di trotoar, seperti ngungun
merenungi kampung kelahiran
Taipei 2016
Di Sun Yat-Sen Memorial Hall
tabik untukmu,
wahai sun zhongshan!
dari nanyang aku bertandang
menziarahi sesayup riwayatmu
yang turun temurun dituturkan
di rumahku
selepas makan malam,
“dulu ada seorang hakka,
seorang dokter
berikhtiar membedah kanker-
yang menggerogot tubuh china
dengan revolusi; dan ia
menumbangkan feodalisme
yang telah bertahta
lebih dari dua milenia”
demikianlah cerita ayahku,
dengan gema terus memanjang
sepanjang ingatan, sepanjang usia
maka aku pun menjengukmu
sebagai tamu yang latah,
mencoba kembali membaca
sejarahmu lebih utuh,
dari ruang ke ruang
dari kiri ke kanan
dari hati ke hati
seraya menggali setiap haru
yang nyaris terkubur di tanah jauh;
tempat kami menggenai nasib
sebagai tetamu abadi
tetapi sun wen, pulau ini pun
ibaat tanah perantauan
(atau rumah pelarian)
bagi mereka yang mengaku
bersetia pada api 1911,
pada bendera matahari;
sepenuh rindu, juga dendam
memandang daratan yang kian
menjauh dari
arah kenangan
:juga bagimu yang diungsikan
sebagai bapa bangsa dalam wujud
monumen peringatan mirip ilusi
sebab siapa pun bakal mengenali
api yang dulu kau percikkan
di hongkong atau london,
di penang atau guangzhou
namun, tidak di pulau indah ini
dimana arcamu tegak selayak
tamu agung di tengah hari
dan sanmin zhuyi yang
mengilhami bangsa-bangsa
mulai dinyanyikan
dengan sedikit sangsi
hingga setiap dari kita
mesti membaca ulang
riwayat diri sendiri
karena itu, terimalah kiranya
tabikku, zhongshan!
tabik orang hakka yang gagap
mengenang tanah leluhur dan
menjaga lidah ibu ini
Cu Caik Kiok1
begitulah, kisanak!
kami menggadaikan diri
ke selatan
ke tanah orang barbar
dan ratusaan tahun kemudian,
kalian yang makan enak pun
mengenang kami
sebagai anak-anak babi sial
yang diangkut ke atas kapal;
kadang demi kandang,
kawanan demi kawanan
“di nanyang, di negeri-negeri selatan
saban hari kau bisa minum arak wangi,
menyantap babi panggang!”
takkan lupa kami pada sesumbar
para calo kuli bermata jalang
yang lebih berbisa dari ular
menjalar di kampung halaman,
berdesis di pintu-pintu rumah
melontarkan rayuan
takkan lupa pula kami pada sanko(2)
berima serupa pantun orang barbar
yang parau ditembangkan
di bibir-bibir pelabuhan, tatkala
menunggu keberangkatan:
yit sung ngai long hi ko fan
yong son ten to yet hoiguan
ngai ko xiong hi yu xong con
hi qiu yungyi con he nan.(3)
dengarlah, kisanak!
betapa serak iramanya melintassi
laut china selatan, terus
mengendap di lubang-lubang tambang
dan kebun sahang, di pintu-pintu
kelenteng dan sepanjang pasar
di ujung lidahmu yang tak juga fasih
bertutur bahasa barbar; hay di negeri asing
yang kau tulis sebagai rumah,
sebagai kampung halaman
seraya meneguk harum arak,
melahap gurih babi panggang
Sunlie Thomas Alexander lahir pada 7 Juni 1977 di Belinyu, Pulau Bangka. Menyelesaikan studi Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Belum lama ini sejumlah puisi dan cerpennya terbit dalam terjemahan bahasa Mandarin di Taiwan dengan judul “Youling Chuan” (Taipei: Sifang Wen Cuang, 2016).
Rujukan: