Liwuto – Sombaya – Gembala Perang
Liwuto
bagaimana aku kenang kekalahan ini
ketika perahu patah di Liwuto dan rindu
merayu
seseorang ingin pulang mendayung jauh
perjumpaan
tapi angin sekal menjerat atau kini aku
tawanan
yang hilang tak berjejak
— tubuh kami disenyap kesedihan dan berkali
harapan terpasung sendiri —
di pulau ini kubangun rumah serupa kita
pada batang gading aku belah sebilah dinding
menidurkan diri dari luka semena-mena
ranting menjadi atap bagi keluh bergantung
menanggang kami dari keinginan merasakan
bahagia sekali lagi
aku kalah dan kau jauh di belakang telinga
bagaimana aku kenang kekalahan ini
meski aku hapal percik jernih suaramu
– air yang jatuh di telaga gelasku, tak ada
tangan
kugenggam ketika demam membias wajahmu
di sisi paling dekatku dengan kematian
Sombaya
serupa laju angin buta atau hitam pada mata
yang awas
malam melangkah ke luar jendela dan
hinggap di kering
reranting, karena pepohon menjelma kayu
bakar
memadam gelap langit yang kacau
— lalu bulan mengusap mata dan malam
menghilang —
di bukit itu tubuh Gowa dilindungi sumpah
meminta setia para raja, kami menimba
sumur
membasuh peluh dan kehidupan
bila malam tiba, kami kunci gelap dan
menyatu
dalam sarung kekasih
tapi api dari kekalahan ini memaksa kami lari
terberai
mencari suaka ke antah-berantah
tiga tahun selepas perjanjian Bungaya
adakah kau tahu cara menguasai kesedihan
seperti kau tahu
tikaman mana yang mampu lumpuhkan
lengan musuh?
di jalan yang tidak pernah kau lintasi ini,
kami padam api
membangun rumah dari sisa-sisa yang tak
mungkin lagi kokoh
Gembala Perang
– setelah serangan pembuka pasukan Speelman
aku melintasi marabahaya itu
datang kepadamu sebagai gembala perang
tubuhku menyandang pulang cinta yang
terluka
di ladang perang, genderang terus
mengeluarkan
suara dan darah
penambat musuh menjerat angin
perahu mereka ditawan jarak
daratan mulai terlihat dan begitu jauh
tercapai
tetapi peluru pandai berenang dan orangorang
tenggelam
tanpa pamit lambaian tangan ke kampung
halaman
juga ranjang yang kesepian
maut menunggang nasib ke punggung bukit
lenyap dalam liang tempat aku sembunyi
ketika tubuh-tubuh itu ditumbuhi kematian
meriam menciptakan ratusan selamat tinggal
dan tidak satu pun bisa kubalas
aku berjalan tanpa bayang
masih menyandang cinta yang terluka
perang ini hanya memindahkan biduk genang
darah
ke tempat yang mungkin tidak pernah nyata
7 Juli 1993. Ia mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin. Giat di Katakerja
sebagai pustakawan.
Rujukan: