Mantra Hujan – Sabang – Bayangan
Mantra Hujan
Seseorang muncul dari tengah hujan:
bergaun hitam motif Krawang Gayo,
bergerak di tengah kerumunan orang,
di antara pohon-pohon kopi yang berputik
Akulah Puteri Bensu, katamu,
datang dari tengah hutan,
membawa payung-payung besi
Menanti Malim Dewa
Menyemai benih-benih kopi
menyiramnya dengan air Danau
dan di tepi Renggali
Ikan-ikan depik tak henti bernyanyi
Mulutnya komat-kamit
menyemburkan aroma Arabika
kental dan wangi
Matanya secerah pagi
Tapi hujan tak juga berhenti
“Mengapa mantraku jadi beku?”
Di Seladang, daun-daun kopi kuyup
didongmu meletup-letup
Kau lalu melompat ke pucuk pohon
memetik beberapa buah kopi
lalu menyemburkannya dengan puisi
Hujan mendadak berhenti.
Sabang
dari taman di tepi laut ini: suara perahu mesin hijau
menembus hingga ujung pulau
seorang perempuan muda berdiri di tepi menanti
sang lelaki kembali
membariskan sisa-sisa mimpi
di sebuah rumah kecil sudut lain
anak-anak memasak buku-buku sekolah yang kusut
dan rusak
kapal-kapal datang dan pergi
mengangkut kota-kota dari segenap pojok bumi:
harum dan wangi
mereka mendaki bukit-bukit dan menulis nama
masing-masing
di kilometer nol dengan tinta merah
dan kau menggigil membayangkan
pohon-pohon memerah dan memuncratkan getah darah
hingga malam jatuh dan ombak berhenti berdebur:
kau hanya menulis sepotong surat cinta
yang tak pernah kau tahu harus mengirimnya ke
mana
alamat telah rusak dan kapal-kapal sudah bertolak
kau hanya bisa memandang buritan diselingi peluit
yang melengking
arloji telah hanyut, air mata telah kering
Bayangan
seseorang datang dalam tidurku
lalu meninggalkan bibir busuknya
di gelas minum kita —
aku bukan perempuan bermata merah, katamu,
yang selalu meracau tentang pulau-pulau
aku pun bukan juliet, katamu,
tak mampu membentengi tidurku
dengan cahaya matamu
aku adalah camar-camar yang selalu terbakar
ketika menemukan ikan-ikan menggelepar di pantai
dan gelas minum kita makin busuk
meski bermili-mili aroma terapi kita semprotkan
Rujukan: