Masih Meringkuk di Gulita Toba
1)
di sini dulu gulita terancang
jangan harap berani berkunjung bintang
meski sesekali langit membuka tudung
cahaya takkan kunjung kencang dari bait gunung
semangat berharap kerap rentan berguncang
lenggang mengacir kala menumbang rimba gelanggang
sepasang lengan baru berani bergelagat ria
kalau merayu kerelaan hantu-hantu dengan ratapan mantra iba
gejolak luka-luka tepi belantara akhirnya mau seperti hamparan yang rela rata
selesai masa bercinta,
tercipta tujuh belas laki-laki penggembur bentala
enam belas benih jadi perempuan peniup bara
tertunduk-tunduk meneguhkan padi siaga
kebiasaan lelaki penghilang malang
lalu-lalang ke bukit. datang dan pulang menyalakan perang
menghela tindak-tanduk binatang jalang
menggubah lembah lalang ke rupa ladang
menggurah muka ke garis merona
selepas waktu melahap tenaga
agar jembalang tak seseram masa padam bentang petang
jika tak ada padi-padi mampu diguncang
tak ada pembayar tulus tenaga
dewi murung masih terbungkus setengah bunting
sejumlah tanya yang lapar
kerap mengusik inti kepala bapa-bapa
maka berburu mabuk dan adu tidur
adalah waktu tercepat menentramkan sengsara
2)
di sela ketibaan selera lancang pencari-cari upeti
di celah riak samudra terselip dua-tiga pendoa
diutus menawan pukau mantra datu wangsa
mula-mula dua pendoa datang tak matang
tumbang ditebang abar barbar pemangsa
tapi darah tiris selain tragis selalu mengikhlaskan sesal suci
dengan rayuan beratus-ratus ayat yang berjurus tulus tanpa benci
datang merasuk turunan. datu tirus simpuh, patuh ditebas cikal doa hari-hari
bersama pedang keji, para penanam belati pasrah rebah ditembus kasih
satu per satu mantra tawar sakti. mati dipapar bahana cahaya hati
mahir bersimpuh, tumbuh dan rekahlah badan mekar si jalang
mendirikan satu-satu mimpi dengan beriring doa berani terbang
tiba-tiba terkabar mencapai awang tinggi mencari terang
disulut berita sudah menggapai berkat. ditabal setingkat kejora menjulang
3)
mata pengeluh dari keruh tidur, terbelalak
menatap langit toba mula-mula terbata-bata
menduga-duga makna
kelap kelip datang menumpas sengsara gulita?
yang berawan cemburu, sesungguhnya mata peronta
tergoda memanen piutang
demikian putra-putri penentang
bermimpi disuruh bapa ikut menumbuhkan tulang
berharap kelak pulang seperti bintang
beruntung menenteng cahaya senang
tapi rasa senang di mana-mana bernasib tak pernah tenang
mimpi-mimpi bintang melanglang sejujurnya tak lagi ingin pulang
yang tegar menjulang menerangi hanya negeri laut seberang
bapa pun muram di malam toba gulita kedua kali. terguling bercucuran linang
4)
satu-dua orang loba lekas mengaku saudara Sang Bintang Punggawa
mencuri hikmah binar ke mata, benar-benar tak gentar meniru-niru cahaya
beribarat mengantar warna pengusir ratap merana dan bimbang
di pintu-pintu kampung mengakui diutus satu bintang
meski hanya bertanda jubah berpenampang cahaya benderang
menghamparkan sinar, konon pantulan untung-untung Sang Bintang
konon tulus diterbangkan dari sisi kanan Saudara seperut inang
cara bagi lengang huta-huta melepas kesima mendengar lolong
si loba mengarak orang-orang ikut meninggikan batu. mengatasi bukit tenang
persatuan tatap bintang, pertemuan mengenang buah mimpi-mimpi pemenang
tujuan pertama di antara rumah kampung oleng dan kandang bau kencing
menumbuhkan lambang mulia di tampuk paling agung
bertangkai gemerlap asing, sedap dipandang-pandang
persekutuan satu rumpun keluarga menggunturkan dada
wahana menaikkan serunai setinggi hati
penanda pemilik bintang bukan sembarang
di belakang iringan riuh yang lantang
diam mengerling sekaum lapar dan compang
diri disuruh sembunyi nasib
sebab di upacara seagung itu aib pantang dijulang-julang
5)
satu dari si loba bernasib jadi penghulu lembah gaung
dulu penggerutu gunung, kini saban hari semangat berhitung-hitung
di purnama pertama bimbangnya sering menjelang
di purnama kedua pandai bersenandung mengapung mumpung
jangankan jagung, kulihat padi-padi dan kemenyan sudah jarang dilarung
“mengapa kau tambahi lumbung?” mataku bingung
“berhitung jangan pakai mata, pung! nanti kau pusing,” ia membusung
6)
desas-desus tiba menjadi rupa menjelang purnama kelima kali
ada si loba diusung kelap-kelip beriring bunyi-bunyi
kusangka dibawa bintang, hendak jadi bintang atau mendapat bintang
(ternyata disebut sekampung, seseorang digaruk kabar buruk saat berhitung)
di bulan sama, berentetan tiba di tiap pagi sulung
kusangkakan perantau agung pulang menenteng kelap-kelip terang
(disebut orang sekampung sudah tiga bintang mengeram dalam peti
mengakhiri mimpi ulung)
“mereka bintang jatuh. tiap sehari menggenapi umur di petang seberang
sebelum kaku terlentang, berpesan diusung menyuburkan kampung.
minta disimpan di kolong batu tinggi, di bawah belulang ompung, di bawah among
selalu begitu cara bintang tiba ke muasal. kaku dalam gelap,” ujar kerabat malang peristiwa
peristiwa demikian melintang di toba
menambah gulita terbentang di mata kerabat
menabung linang di bukit-bukit
Balige, Juli 2016
Menyaring Titah di Partukkoan
mari duduk menukil kebiasaan cermat pendengar tua
menangkap ngengat berjingkat-jingkat di celah cerita
diam-diam ingin beranak pinak ke ceruk gelap tangga tahta
menyiksa raja cemas sampai berkepala tampak oleng
tak mampu sesekali bersabda
jangan kau bayangkan akibat peninggalan keji raja
walau memutus nadi kurban lumur darah tanpa raut amarah
ingatlah letih kening baginda yang tunduk memutar pelik
sesekali kepingin mengundang rentak memantik gelak
sampai tiba suara bungsu dari lubuk dada
mencipta cahaya menemukan renik meski tak semerah kerumut
benderang segala angkara dari pusaran gelagat
mengenyahkan alibi di altar eksekusi
sekarang mulailah mengumpul makna
dari waktu yang liar beterbangan
merangkai debu hingga bersatu meninggikan kerangka
landasan pulang pecahan tubuh dari liang setengah baka
upah terhalau dikucar-kacir sengketa
seperti para moyang agung bertarung
setia bersandar sendi di partukkoan
kembalilah ke mari menampilkan keajaiban batu-batu
dalam hikmat menampakkan khasiat kata-kata datu
mampu merayu segala yang sembunyi sedingin
hantu palung
tahu-tahu ruh terpana dibawa pulang
dari plesir tega angin surga cukup tersungging memahami pertanda
Medan, Mei 2017
Kecut Unte Jungga
rupaku makin mirip keparat mulai keriput
menabung kecut di rongga dada tua
diperas-peras hantu belanga
siapa bilang aku tambang karma
menimpa doa-doa ikan menempa maut
belum pernah kugantung ratap
menjenguk jagat danau dan lelembut
jangan umpat-umpat aku sepantar telaga sampah
si tua sepertiku bertuah luluh melulu
ditusuk tumpah sumpah perantau
sebelum membusuk kuingat nasibmu
kurasuk susuk aroma paling ampuh
sampai keberanian ajalmu berbaring setampan teguh
siapa bilang aku kumparan bala
di mata luka-luka medan laga
belum pernah kujajah darah
seperti lelembut buruk memamah
kubantu ajal ikan-ikan bergelagat sia-sia
menangga derajat raja-raja
Bresman Marpaung lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 15 April 1968. Kini ia bermukim dan bekerja di Medan.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Bresman Marpaung
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 17 Juni 2017