Batu Cangga – Sarepa – Inada Dao
Batu Cangga
Sepuluh ekor sepi menuruni tangga bambu,
setelah mata mereka menyapu bersih laut Gili.
“Biru laut, seperti biru pada warna korel,”
kata leoter sepi.
Sejak semula mereka telah jatuh cinta,
sejak pertama menaiki perahu dengan gelak tawa.
Mata mereka yang setia dengan ha ha
tak seperti kamera pada hp masa kini
waktu berhenti
dan abadi pada ‘klik’ jari-jari mereka.
Sedang batu-batu menjulang
dan memanjang ke masa depan
seperti arsitektur Gereja di masa lalu
yang dipahat ombak dan angin gontai.
“Ini tempat paling nyaman untuk memancing,”
kata sepi yang sedikit kurus.
“Ikan-ikan seperti ribuan ternak di padang terbuka,”
sepi berkacamata menambahi.
Akhirnya, sepuluh ekor sepi
duduk menghadap laut, menikmati angin pulau Sepudi,
dan mencermati perahu-perahu
yang berputar-putar menebar jurung*.
Di antara mereka, dua, tiga, sampai empat
ekor sepi berdiri, membetulkan letak sarung,
dan meneruskan perjalanan.
“Jalan berbatu masih panjang,” katanya dengan girang.
Sarepa
Sepuluh ekor sunyi memasuki goa,
delapan di antaranya adalah sunyi dari luar pulau,
dan selebihnya adalah sunyi pulau
sebagai penunjuk jalan kegelapan.
Di mulut goa mereka menghirup bau bangkai.
Pada mereka, dua ekor sunyi, berkata:
“Mungkin ini bangkai biawak, atau ular,
atau kelelawar, tak ada yang tahu.”
Delapan ekor sunyi bergidik,
di mulut goa mereka berpapasan
dengan beberapa kuburan
yang bertengger tanpa nama.
Pikir salah seekor sunyi:
“Barangkali ini adalah persembunyian para roh,
atau pertapa, atau lanun,
atau tawanan perang jaman Belanda?”
Sebab di pulau itu, sempat ada perang,
ada tikai yang kacau, antara pendahulu
dan sunyi asing yang berambut sepirang
bulu jagung.
Di dalam petang yang girang, dua ekor sunyi
menunjuki mitos stalaktit pada delapan ekor sunyi
bahwa tetas air pada batu
adalah penumbuh bulu pada dagu.
Ahooi, mereka seperti menemukan kembali
pancaran mata mereka yang hilang,
bahwa cahaya telah melumpuhkan mata mereka
bahwa sunyi muasal dari bunyi.
Romben Rana, 2017
Inada Dao
: untuk emak
Berjuang dan kalah lebih baik
daripada tidak berjuang sama sekali.
ñ Sein Fein
Di tengah suara yang berenang pada telinga
Inada Dao duduk menghadap Sunyi
yang menyanyi sendiri pada udara februari
Sunyi jatuh tak sampai tengah malam
dingin telah menyentuh lengan dan kakinya
Inada Dao berkaca-kaca
Sebuah dunia di kepalanya telah runtuh
dan ia seperti selalu tak sanggup menyentuh
inti dari peristiwa itu, bahwa esok dan lusa
Hari masih ada, hari masih terbuka
untuk Cinta yang tiba-tiba menutup telinga
Inada Dao, Inada Dao, bukalah matamu
Sunyi masih berenang dalam doa malam kita