Daleman – Ngatuwi – Siti Mutio – Gentong – Taslim
Daleman
cerita lewat pada baris keempat
dan frasa yang diimpor dari negeri nabi-nabi
: suwu sufufakum
barangkali magrib, atau mendung
yang merapat
sewaktu mereka tiba:
tiga buronan gubernemen pada tahun 1830
kenapa mesti ke sini
sedang jawa menyimpan hutan-hutan wingit
dan gunung-gunung singun
di mana arwah leluhur akan
mengutuk para raksasa muka pucat?
tapi, toh, di situ, leluhur mereka
pada baris sebelumnya, membabat alas
“ia bernama muhajir
dan dirimu benihnya belaka”
21 tahun kemudian
tiga pohon sawo tumbuh di situ
dan seseorang berkata, “suwu sufufakum”
dan seratus tahun setelahnya, seseorang
yang lain berkata, “rapatkan barisan”
dan di hadapan mereka, tujuh (atau delapan)
serdadu kolonial mengokang senapan
Ngatuwi
ngatuwi mati di tepi jalan itu,
dan seekor musang melintas
tiga belas meter darinya,
dan malam hendak lingsir, dan
tengkorak yang pecah
mengembuskan asap berwarna hijau,
dan mojojajar mengeras,
dan seseorang (mereka yakin namanya
dirjo) berteriak, “jangan beritahu ibunya!”
dan seorang penyair
tugur di depan kertas kosong
tapi ibunya tahu
seorang ibu memang selalu tahu
mereka mengangkat jasad rusak itu
pagi belum pergi dari pukul delapan
dan ibu itu tiba
tapi mereka berkata, “pulanglah!”
mereka tahu, sekian bulan sebelumnya,
di kemlagi, beberapa bal rokok dari pracangan ujung
kampung yang diambil ngatuwi dalam gelap
telah membuat sekian orang murka, lalu menjatuhkan
batu besar (dan tidak satu) ke kepala sang maling
waktu itu, orang-orang mengira ia telah jadi
almarhum
dan ia dipulangkan
dan keesokan harinya, ia bangun dari lindur
seperti orang bangun dari tidur
“aku melihatnya merentangkan tangan dan
menguap dan merokok di muka rumah,” seseorang
bersaksi
dan seorang dukun berkata, “bapaknya pernah pergi
ke gunung pucangan, menyalakan dupa di pusara
caluring”
tapi orang-orang, sejak pagi itu,
seperti melihat sarip dari tambak oso setiap
kali menyaksikan ngatuwi berjalan dengan
langkah gontai
aku melihat diriku sendiri
“ibunya, ibunya…”
bahasa, gumam si penyair
“ibunya tak boleh menyentuhnya,” itu yang
kemudian diperintahkan dirjo
dan hari berakhir
dan seorang penyair
memanggili langit tinggi
Siti Mutio
ia akan datang
ketika hari tiga perempat gelap
: ia dan sejumlah lurah,
ramalan dan sisa gas komet halley,
mei dan epidemi kolera di trawas
Mojokerto, 1910, demikian yang tercatat
dan RAA Kromodjojo Adinegoro, yang mengira
dirinya turunan raja itu tahu
tak ada messiah yang perlu tiba
selama ia berkuasa
“bagaimana pun bupati, orang-orang eropa
akan pergi dari sini, atau wabah akan terus
bertambah”
tiga bulan setelahnya
kita tahu
: orang-orang eropa tetap menguasai negeri,
wabah itu telah pergi,
siti mutio dan para lurah lungkrah dalam bui,
dan sisa gas adalah apa yang tak mampu ditahan mata
Gentong
ia berhenti untuk gerabah tanpa wajah itu
; perdu dan lumut dan air merenggutnya
tapi ia melihat apa yang tak terlihat
; semacam bunyi dari sebuah bonang
kepunyaan sunan pengembara sekian abad
sebelumnya
ia dengar wahyu itu
: langgar tiban, kampung baru bernama daleman
dan seruan: hei penarik pajak, japan bukanlah
rumahmu
dan hamengkubuwono tak sabar menunggu tarikan
pajakmu
dan ia rasa urat kasar gentong itu
dengan jemari bergetar
“aku tak akan pergi,” itu yang ia gumamkan
ketika hari jadi gelap
keesokan harinya,
ia tebang pohon pertama, dan ia singkirkan alangalang
ia menyaksikan dirinya sendiri
dalam sebuah makam tak jauh dari situ
dan orang-orang berkumpul mengalap berkah
: berkahnya
Taslim
putri dari surabaya itu, barangkali mengira ia tengah
dilepaskan dalam khazanah wayang
atau dongeng
semua terasa begitu sepele
: gering yang disungkupkan
tabib arab, dokter belanda, sinse china, dukun jawa,
obat dan mantra yang sia-sia
lalu semacam klise: sayembara dengan ia atau
separuh harta sebagai imbalan
dan si yang tak terduga: yai pesantren sasap,
yang tua dan wadat,
dan ia akan tiba
dengan dua santri lelana
pada suatu hari
seperti seharusnya
dan seperti seharusnya, putri itu bangkit
dari sakit
dengan sederhana
dan janji akan ditepati
tapi ini bukan dongeng, dan blencong
telah dimatikan subuh tadi
“jemputlah ia untukku, husen,
dengan berjalan kaki, tanpa kau menyentuhnya”
ujar sang yai – kita tahu namanya taslim
*
“jangan berduka, husen,” itu yang dikatakannya
sewaktu santri itu tiba di sasap
dengan putri yang lemah di punggungnya
“jangan berduka, putri,
yang berjodoh akan berjodoh,
yang sunyi akan kembali pada sunyi
seperti puisi”
empat hari kemudian
ketika lelaki itu menyingkir ke wonosroyo
putri itu seperti melihat bisma
apakah aku…
lidahnya gagu dan ia tak mampu
mengucap selamat tinggal
Rujukan: