Bukan Jibril – Pecaron
Bukan Jibril
Di tepi kali, aku menunggumu. Tapi kenapa yang datang selalu
hujan, kelesik dedaunan, dan debur air di antara bebatuan. Kini,
rintik air dari langit itu kembali menggaris kesepian. Musik daunan
yang dimainkan angin pun semakin menikam kesendirian. Percik air
di batu-batu, serupa roda nasib yang mengekalkan luka kalbu. Aku
masih setia pada kitab dan tongkatmu. Entah kau datang nanti atau
tidak sama sekali, aku akan tetap menunggumu di tepi kali. Tapi
izinkan aku menghentikan hujan dari perasaanku, memindah
pepohonan dari hatiku, dan menyapih nasib dari takdirku. Utusanmu
telah datang semalam, ia melatihku hingga fajar. Ia membuatku
menggigil, meski ia bukan Jibril.
Pecaron
: cinta pertama sang laron
Rembulan tak lagi utuh, o cintaku, seperti donat yang disayat gigi
susu anak-anak sewindu – ceritera pun tak lagi berkumpar pada
taring Batara Kala, o belahan hatiku, kerna dalam ritus selingkuh
dengan jilmaan Uma palsu, gigi itu tak setajam dulu.
Tak tahukah kau, di sini, anak-cucumu kerap bermain nujum tanpa
niat bernubuat dan bersijabat dengan penguasa keramat gelap. Kerna
jarum jam zaman lebih tajam dari tebasan sejuta parang dan kalam.
Kepadamu o, sang pengelana dunia, kutitipkan sisa bayang-bayang
bumi di balik kelir takdirmu; kulingkarkan segenap korona,
mengganti gelap dengan harapan-harapan tuk sempurna
menapaktilasi jejakmu.
Tapi entah kenapa kenangan masa lalu selalu menyaru cinta pertama.
Ia menjadi hantu, sekaligus penggoda yang begitu perkasa membalik
mata: galaksi pun tak mengenal bumi bundar, tapi tanah datar,
seperti lapangan tanpa bola. Karena itulah, o pelukis darah di
tubuhku, kurelakan sayap-sayapku luruh menuju cahaya, yang
berkumpar di damarmu.
[1] Disalin dari karya Mashuri
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 5 Agustus 2017