Kidung Tunggul Pungur – Selubung Rindu
Kidung Tunggul Pungur
Magrib
menyuling gerimis
jatuh
dari daun ke daun
berdentum
ke batu-batu ngungun
menyiram aksara di nisan.
Malam
membakar dupa
bara
dari akar ke akar
kegelapan
pusara kunang-kunang muasal suara-suara mambang. Gusti, kurindukan puisi terukir lagi di daging kering ini terpahat di tulang rapuh ini, dan gemanya, gemanya merajah darah mengaliri nadi agar tubuh ini, o, tunggul pungur ini hidup ini, o, tunggul pungur ini tak sekedar sisa sekarat yang keparat namun bisa menjelma rumah keramat bagi mekar lembar-lembar lumar.* 2016 * lumar: jamur bercahaya.
Selubung Rindu
Selalu kepada dirimu kata-kata mudik, semoga,
senantiasa kepada diriku kata-kata balik.
Selalu tersimpan alamatmu di benak kata-kata, namun,
senantiasa tak tercatat alamatku dalam ingatan kata-kata.
Jarak dirimu dan diriku: dulu lebur tak terukur
karena satu dan kini jauh terulur sebab seteru.
Bagi kata-kata: kau seindah-indahnya tanah ziarah
sementara aku senikmat-nikmatnya tempat tersesat.
Setiap kali kata-kata mudik, kubayangkan mereka adalah diriku
dan ketika kata-kata balik, kubayangkan mereka adalah dirimu.
Mereka memang bukan diriku, mereka bukan pula dirimu,
tapi mereka, kata-kata itu, seakan-akan kita: membawa pulang
Diriku padamu dan mengajak serta dirimu padaku.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Toni Lesmana
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 5 Agustus 2017