Pascakolonialisme Brandon Venzord – Untuk Adriaan Valckenier – Onderdistrik Tujuh – Mengenai Ipie – Tentang Jane
Pascakolonialisme Brandon Venzord
Ia merasa dirinya Hindia yang utuh
: Dialektika dalam paspor Belanda
“Aku lupa, ada Jan dalam namaku,
Tanpa Coen, dan seseorang, di laut,
Telah menggunting bayanganku.”
Ia kenang leluhur tatkala
Berlabuh di Sunda Kelapa
Tapi itu saat mereka tak tahu
Di mana pulau berpasir putih
Kecuali anyir penaklukan
Pada sebentang peta kumal
“Di kanal, telah kutinggal kebaya,
Kulepas beha—aku ingin negeri
Dengan tiga warna bendera.”
Mungkin ia menyitir kata-kata
Seseorang dari Amsterdam sana
Sebab jenuh, barangkali, dan takut,
Hatinya, terjebak dendam, juga kalut
“Negeri ini memang tak tega mengusir;
Mereka hanya masih mencium bau pala
Dan anggur dari tubuh seorang Meneer.”
Untuk Adriaan Valckenier
Hanya api dari sejarah kelam
Yang belum mau padam
Di wilayahmu saat malam
Menjulang, di balik otofokus
Dan ransel yang selalu saja
Jadi identitas para pengelana
Di zaman ini, berabad-abad
Setelah darah ribuan Tionghoa
Tumpah dan mungkin mengalir
Ke sumur di halaman depan itu
Serta terus bergema di trem
Sesekali disela derit roda, derita
Tak ada kau, tak ada, hingga kini
Hanya hantu para rakyat melintas
Dalam ingatan yang tak utuh, terus
Berabad-abad menunggu, abadi
Onderdistrik Tujuh
Dingin Onderdistrik Tujuh adalah tikaman pertama
Dari karih, yang entah sejak bila, bersarung kerinduan
Tikaman selanjutnya berasal dari nama-nama,
Juga peristiwa, yang tak kekal, tetapi langka
Maka di aspal itu selanjutnya akan
Tertinggal darah kita: jejak cahaya
Selebihnya cuma cambuk kuda, dengan
Perih yang janggal, yang, anehnya,
Tak lahir dari terjangan kolonial
Onderdistrik Tujuh yang tak dingin ada di kehidupan
Yang lain: di surga, dengan kita, tanpa cemas yang rutin
Mengenai Ipie
Lantaran angin Semarang tak membuai lagi
Godam dan arit enggan meriwayatkan kisah ini
Lantaran sisa mimpi Harlem belum terkebas dari saku jaket
Percikan semangat yang bergairah itu tak lebih sekadar pamflet
Lantaran peta penjarahan akan selalu terkembang di perut tuan kompeni
Selori tinjauan tak lebih dari omong kosong soal keadilan buat pribumi
Lantaran pada pertemuan dua angin tak terbawa harum kopi
Ladang-ladang Deli tak akan membungakan apa-apa lagi
Lantaran aroma tembakau kembali moksa di udara
Gigil para kuli cuma ilusi di antara dingin penjara
Lantaran lengau di tukak vrije man akan melahap sisa perbendaharaan
Yang dilakukan hanya berangan soal upaya memutus jejak penjarahan
Lantaran tambang-tambang sudah dingangakan
Kelingking patuh berkait ke peta penjajahan
Lantaran di simpang ke Suliki itu ratib sayup cuma terdengar
Sekerat ingatan tak lebih baik dari margarin sebelum hambar
Lantaran tak sampai tikam dan telah dikirim pelor berdentam
Kini, dari tubuh ke tubuh, selain pikiran, diputuskan bermalam
Tentang Jane
Di selembar peta koyak itu,
Ia temukan paras negerinya:
Amsterdam yang dingin,
Rotterdam yang agak lain,
Den Haag yang penuh lilin
Lalu dengan telunjuk yang sakit
Ia raba satu gang sempit:
Di situ, keluarga Ludwig dengan 12 anak
Berebut kasur, bagai itik bersua dedak
Tinggal pula pemilik bar,
Seorang jompo korban perang,
Dan para perantau Madagaskar
Di lantai dua dengan sisa tahi camar
Matanya pun hampir rabun karena itu,
Tapi lekas ia temukan ingatan baru:
Seorang gadis menuruni tangga dekat kanal
Lalu menyapa mereka yang dikenal
(Seandainya ia tak tersandung
Atau hampir terjungkal di jalan terjal itu,
Ia tak ingat kalau ini malam Natal)
Tapi ingatan tak kekal, katanya
Kelak, ia pun tahu, peta koyak itu
Adalah lamunannya yang tak utuh
