Penambang Asteroid – Kronik Fosil
Penambang Asteroid
Berjuta mil dari jantungmu kubertahan agar sampai pada terasmu
dengan peta yang kubawa dari palka, kutabur serbuk kopi di atasnya
agar mata jauh dari padam dan kian awas, dari pangkalan memeras getas.
Di berandamu kusuling logam murni, di opera angkasa kumelayang dan menari
kupoles gugusan debu dan es yang kusut piatu, mengepul serbuk di sabuk
kubangun gedung pencakar langit dan menggantung di sana
di antara galaksi selangit hingga kosmik yang tercekit
dengan peta yang kubawa dari palka, roket kian melaju, mengisi bensin
dari satelit yang tercipta, muaranya ialah air dan tambang kehidupan.
O, Mahatala, adakah terpancang gema papa di dalamnya?
ataukah maujud atom kebahagiaan dari partikel tak bertuan
dari impian orang-orang kening yang tak lekas pudar
O, manusia
pada bebatuan terjal
yang terberai
tertancapnya enigma
dari riwayat panjang
tak henti-henti menujumu.
Kronik Fosil
aku adalah lamunan daun ranggas
dengan terberai langgas
akar tercerabut gegas hilang pegas
kau adalah auman tak berkesudahan
di balik bukit dan bebatuan
hewan di kedalaman
kepunahan kesekian itu tak menyurutkanmu
dari tidur-tidur di jurang
dari pikuk tanah terpangku
dan aku termangu menatap jeroan itu
yang kalang kabut menatapmu kelu
akankah kuharus jadi rusuk vitruvius
memandang belulangmu berkilau megah
lewat binar sumsum saja
tak bisakahku hanya malih remah roti
kan bertahan dari gempur suhumu
yang kian meninggi tak menentu
lewat biji yang kutanam hingga tumbuh
sementara kita adalah paradoks
terus mempertanyakan artefak diri
dalam daging penuh duri.
[1] Disalin dari karya Galeh Pramudianto