Kita dan Sederet Perjalanan – Efek Hibernasi Hari Sabtu – Pengelanaan Kaum Futuris – Ketika Puisi ini Ditulis
Kita dan Sederet Perjalanan
(mendekatlah)
aku tak dapat berhenti memikirkan betapa
menarik dirimu
anugrah apa yang diberikan pencipta
dan keajaiban apa pula yang diberikan
padaku
tubuh kita yang menyatu
meluruh segala detak waktu
kita memutuskan
untuk berpindah kota demi kota
tak bisa berhenti,
etiap sudut habis kita jelajahi
kita meyakini tak pernah bertambah tua bila
terus berkelana
dan terus bersama
jangan pernah meninggalkan tubuhku
di saat gigil yang membutuhkan pelukan
masuklah dalam diriku dan keluarkan segala
gelisah
dan kegelapan yang memerangkap resah
bawalah aku menuju kerlap-kerlip lantai
dansa
aku pikir itu akan menyenangkan
bagi petualang seperti kita
ayo, kita lakukan semua secara perlahan
setiap belokan tak menjadi kesulitan
bila kita memahami diri kita masing-masing
seperti menyadari merahnya mawar
senantiasa lebih indah dan lebih mekar
bila disematkan di atas telingamu
semua yang kita ketahui
hanyalah tentang kita berdua
dan kota demi kota yang kita lalui bersama
hingga kita memutuskan untuk tinggal di kota
yang sama
pada kota yang akan kita berikan seluruh
cinta
kau tak meninggalkanku
aku tak meninggalkanmu
senantiasa padu
Efek Hibernasi Hari Sabtu
aku sudah terlalu bosan dengan masa lalu
hanya berisi kenangan yang tak dapat diulang
aku ingin masa depan
sebagai masa akan datang
dan akan ku isi masa depan dengan puisi
untuk menjadi pelindung dingin di hari tua
sebab aku tahu diriku akan mati
akan meninggalkan dirimu dan puisi
mungkin juga sebuah rumah sederhana
dengan taman bunga dan sepasang anggora
untuk kau nikmati setelah aku tiada
semestinya aku takut dengan masa depan
sedikit pun aku tidak punya persiapan
setiap hari aku hanya berkeliling
menjajakan kata-kata di beberapa kantor
media massa
ada yang tertarik, dan aku memaknai itu
sebagai kemenangan, meski lebih banyak
yang tertawa
menuduh aku adalah bagian masa silam yang
terlupa oleh sejarah
ya, hanya itu masa sekarang
yang dapat kulakukan
pernah aku mencoba
untuk mencari beasiswa masa depan
betapa sayang umur
harus dihitung dengan tahun, kata mereka
sedang aku telah setia
menjadi detak bagi setiap detik
pernah pula kulihat
di televisi seorang peramal
yang bisa melacak masa depan
aku bergegas melompat
masuk ke dalam televisi
mengejar peramal
yang langsung lari begitu melihatku
aku tak ingin memaksanya,
aku kembali keluar dari televisi
ketika suasana telah malam,
kabut telah mengelam
entah mengapa, tiba-tiba aku ingin belajar
cara merenovasi waktu
Pengelanaan Kaum Futuris
[titimangsa menjadikanmu pengelana
bagi kota demi kota
dan
puisi menjadikanmu petarung
menakluk kata demi kata]
ketika di tepian Djibouti kau teringat
gadis-gadis kecil berkerudung letih
berlarian untuk pergi mengaji ke surau
tapi di Palestina mereka memanggul luka
sedang ayahnya menjadi mortir dan senjata
darah menyemerbakkan amisnya
sampai ke Tanah Suci
tanah damai yang riuh
makhluk pemuja Tuhan
ayat-ayat suci dilantun
mendengung hingga ke Selatan
tempat hewan berbulu tebal
mendekap lembut anaknya
seperti orang Eropa
yang cinta pada tanah airnya
setelah merdeka dari berbagai nestapa
kau menyadari ketika mentari menyapa pagi
perang adalah kodrat bagi manusia
agar bumi tidak terlalu sempit
dan pedang Izrail tak perlu ditebaskan
seperti orang Prancis
yang menebang tiang bendera
negara dan kaum sendiri sebangsanya
airmata menumpah di layar televisi
seorang anak berkulit hitam
berumur lima tahun
melemparkan topinya
hingga menemui Nebukadnezar
untuk bercerita tentang Ratu Balqis yang fana
tentang Spinx, patung fenomenal melegenda
dan kau terlanjur meyakini
perkataan ilmuwan
bahwa dunia itu berputar,
sedang jiwamu bergetar
ketika mengangkat telepon dari ibumu
Tanah Air,
tanah tempat kau mengais masa kecil
bersama sekumpulan anak bugil
menceburkan diri
pada kedalaman makna kehidupan
yang kini kau saksikan di seberang samudera
memisahkan berbagai pengetahuan
meski di Berlin kau baru menyadari
hidup terlalu penuh kekesalan dan kekejaman
nyawa bisa kehilangan arti
bahkan kata bisa kehilangan makna
dan barangkali kau telah kehilangan Dia
seperti grizzly buta
kau memutuskan terjun ke dasar lembah
Ketika Puisi ini Ditulis
ketika puisi ini ditulis
ada seribu nyawa yang baru saja diregang
dipisahkan dari kekasih dunia
untuk merebahkan diri pada altar
menghadap tuhan untuk pengakuan
ketika puisi ini ditulis
ada seribu butir airmata yang pecah
mengutuki waktu yang membelenggu
mencari cara untuk kembali ke masa lalu
ketika puisi ini ditulis
ada seribu bunga yang baru mekar
di jiwa remaja yang terkejut oleh cinta
pertama
kata-kata dirangkai sedemikian rupa
segala semerbak, segala resah menyirna
ketika puisi ini ditulis
ada seribu rasa yang rubuh
satu persatu menjadi debu
dan itulah: aku