murdaningrum – patih setama – banjaransari – nyi setomi
murdaningrum
ia tugur untuk lelaki itu
semenjak pulau masih muda
dan dewa-dewa gemar menabur manik mani di sembarang
benda
ia tahu lelaki itu tahu
“ini memang takdir yang bocor,” gumamnya
maka disiapkannya sepuluh pintu
sebentang telaga dengan bidadari yang dikutuk menjadi tua
juga sebuah tebakan sederhana
tentang kelam yang bukan malam
tentang terang yang bukan siang
lelaki itu akan tiba
dari koripan; tumpukan sampah yang terbawa angin,
dengan baju dikoyak ranting
lelaki itu akan menempuh jalan menuju matahari mati
ìnamaku banjaransari
dan aku hampir gila mencarimuî
perempuan itu tertawa
ia tahu lelaki itu berdusta
ia pura-pura tak mengerti
ada, memang, yang lebih baik begitu
“sesungguhnya aku yang gila menunggumu”
patih setama
telah ia ikuti raja yang kekurangan hamba itu
dan ia guratkan mata pedang ke pohon dan padas
seperti manusia pertama
yang membagi nama-nama
seseorang, satu dari 300 anggota rombongan
mula-mula yang ia bawa, bergumam, “ia yang membelah
hutan
ia yang membangun kampung-kampung,
ia yang mendatangkan para penghuni awal
dan kenapa bukan kepadanya kita berbaiat?”
malam itu
langit rendah
dan sang raja bermimpi
tentang sepasang meriam
keesokan paginya
ia minta sang patih untuk mencari
“hamba tak tahu mesti mulai dari mana,” ia keberatan
tapi titah adalah titah
ia pergi
dan 40 hari kemudian
ia ubah dirinya sendiri
juga diri istrinya
jadi sepasang meriam
“ki patih, ki patih,
sampai sebatas apa kesetiaan seorang hamba sebenarnya?”
ia tak lagi mampu mendengar pertanyaan itu
banjaransari
ia tidak berkata “tak ada lagi”
ketika jalan sampai ke penghabisan
dan seekor semut terlindas
dan cuaca berubah ungu
ia memikirkan arti hutan yang tak terjamah
puisi yang seperti sia-sia
lelaki yang terus menulis
juga sepasang beringin kembar penuh hantu
ia menunggu
ia tahu, apa yang tampak tak ada
hanyalah apa yang belum ia pahami
nyi setomi
istirahatlah nyi, dalam
badan badam besi
setelah ini para lelaki akan menghamili
benda mati, para perempuan bercinta
dengan binatang, langit merendah, bumi
meninggi, dan seseorang menulis sebait
puisi penuh bisa yang akan membunuh
dirinya sendiri
istirahatlah nyi,
dunia tidak akan sama lagi
cinta tak lebih kata lain bagi
sakit dan khianat
dan kita barangkali tak lagi
menemukan alasan untuk bahagia