Pekak – Pekok – Selendang – Buku Sangat Tua – Gambir Pagi Buta – Bunga Kenikir – Pemakaman – Pada Suatu Malam
Pekak
Bunyi di ranting pohon bilang : tidak
mengapa kau tak bisa tirukan
dalam teduh
daun-daun basah
bebal di lipatan kuping
mendesak angka decibel
duhai ternyata pekak dan tuli itu
sahabat kembar
yang membatu menjadi curek
coklat tua, apek baunya
jangan coba teriak-teriak di depan kantor
dan area pemakaman
jika lupa sampaikan salam
pernahkah kau dicolek menjadi kawan 😕
maka sebaiknya mulailah kau menulis
dengan huruf kapital
supaya tubuh dan nyalimu juga ikut besar
Pekok
Ada yang berjalan tanpa arah
ada yang menunggu tanpa arloji
dan berebutan mencari kunci
Padahal ia bertapa di goa kelelawar
sehingga temannnya kelelawar dari segala usia
namun lelaki ini mengidap penyakit
lupa dan pekok
yang dipiaranya sampai kepalanya botak
Selendang
Selendang dari ibu
dipakai untuk jagong dan menari
kala aku ditidurkan di bahunya
selendang ibu membesarkan pikiranku
bahwa ibu tak hanya pandai menari
tapi kuat mendorongku menjadi
orang yang bisa bicara:
tidak dan tidak
Buku Sangat Tua
: ayah
cukup dengan buku, sangat tua
aku mengenalnya lebih dari sekedar tahu
bahwa hidup yang menyala itu
tidak meski membakar kayu api
cukup seperti sampul buku sejarah Tiongkok
berkarakter tapi tetap sederhana
ayahku bukan pemahat prambanan
tapi ia melukisi aku dan saudaraku
layang-layang berkertas putih
terbang di awan yang membentang
tapi tahu jalan pulang itu tak sesat
ayahku juga bukan penyair
sehingga tak punya tabungan kata-kata
tak gampang tergoda untuk mimpi
apalagi geram menjadikannya fiksi
Gambir Pagi Buta
Apalagi kalau bukan kereta
jika bicara soal gambir dan jakarta
ia nama tempat sekaligus kata benda
yang mendahulukan hasil
daripada rencana
aku di gambir selalu diajaknya lari
melawan jakarta yang semakin
congkak dan kocak
jika seperti pagi yang kemarin
aku menidurkan mata di peron stasiun
itu sejatinya kesalahan fatal orang urban
seperti aku, yang terbang
tanpa sayap yang lengkap
Bunga Kenikir
pemilik kuning itu, tua
membawanya ke kearifan
tapi langu yang ditebar
bukan tanda bahagia
kenikir melubangi hidung-hidung
orang yang lewat di depan rumah
mereka tak tahu kecuali
daun-daunnya punya cara
menjinakkan kemauan atau sepenggal
kepentingan
aku biakkan kau sampai tujuh turunan
sebab kau telah mengalirkan harapan
seperti petang yang tak pernah punya pagi
Pemakaman
setelah jazad melebur pada leleh siang
ia membujurkan tubuhnya , ramping
sebentar lagi ada suara terakhir menyapa
“hai ke mana setelah lupa jalan nanti “
ia menjulurkan rangka dan tangan, lalu sedekap
sebelum para pelayat membawanya pergi
ke rumah terakhirnya, istana batu putih
tanpa jendela, tanpa nyala api
Pada Suatu Malam
: Fajar Suharno
tak ada casting dan akting malam itu
gagak dan burung malam saja kedinginan
dengkurnya mengoyak daun-daun bambu
mulut dan pikiran tak boleh menyalahkan
hidup di jaman batu itu, Den
tak butuh telinga, katamu
sebab kata-kata telah menjadi najis
yang airnya diminum anjing-anjing
kampung, untuk merayakan pesta kekalahan