Di Rumah Jagal – Sitinjau Laut – Ketika Rinai Sakit – Gerimis Melati – Burung Pemikat
Di Rumah Jagal
leher ini sebentar lagi
sudah tak ada
kami selesai begitu saja;
tanpa kenangan
kisah
menguap serupa darah
tak ada kubur
tak ada ziarah
diri disantap sampai tandas
belulang ini, penanda tubuh terakhir
tak punya nisan, tak punya turunan
tumbuh dan usai
di tangan tukang jagal
tubuh ini sebentar lagi
sudah tak ada
Sitinjau Laut
bukit, segalanya kabut
di ketinggian ini, betapa aku bergantung
kepada jalan yang entah akan
membawaku ke mana. dan aku
menjadi kerdil, tak bisa jauh darimu
oi, kabut tebal. jarak pandang, jalan
berliku, hutan terbakar, dan jurang dalam
di bawah, antara imaji dan halusinasi
rumah menanti
Ketika Rinai Sakit
ketika rinai sakit
air di mana-mana, di luar basah
di dalam diri kami juga basah
ketika rinai sakit
kami memasuki tenda pengungsian
orang-orang yang selamat dari jerat ajal
kapal karam, sisa mesiu dan asap di mana-mana
kesedihan kami adalah kesedihan mereka
yang kehilangan rumah, kehilangan anggota tubuh
kehilangan ladang, kehilangan keluarga
kehilangan masa lalu, dan jalan pulang
ketika rinai tak berhenti sakit
air mata kami adalah air mata ia yang disiksa
majikannya
perempuan yang dirampas kehormatannya,
keluh kesah pasien rumah sakit yang jemu
dan cemas
ketika rinai sakit
hutan terus dibakar, gedung terus dibangun
gerimis kecil ini tak mampu jadi penawar
berhektare lahan yang diludahi api,
penghapus debu di jalan berlubang
kesedihan yang diulang sepanjang tahun
rinai masih sakit
kesedihan kami adalah kesedihan sebuah bangsa
yang dikepung perang dari luar dan dalam
tubuhnya sendiri
ketika rinai sakit
kami merindukan hujan sekali jatuh
menghapus api, melindapkan debu, memadamkan
amarah
dan menghentikan kesedihan republik ini
Gerimis Melati
ketika tangis pertamamu pecah
langit menjatuhkan kelopak melati
yang wanginya tercium sepanjang hidupmu
aku memandang bening matamu
seperti lubuk dengan mata air abadi
tak peduli musim apa, kami akan bisa melihat
gerimis jatuh, bau tanah yang meningatkan kami
pada asal dan muara
dalam gerimismu yang terus melati
orang-orang tak cemas tak bisa pulang,
air tak akan naik ke mana-mana.
ketika kau mulai belajar tertawa
suaramu adalah senandung yang paling rindu
pengantar tidur yang paling aman
setiap kami dihajar kesulitan
dalam diri kami kini
ada kebun melati yang meruapkan bau pelukan
gerimis melati, gerimis dengan aroma melati
senandung yang semerdu dan seindah melati
kekal di dalam diri kami
rinailah hari, hiburlah kami
dengan senandung kecilmu
dalam kebun melatimu, dalam sukacita kami
yang kedalamannya setangguh puisi
kau gerimis, melati dan senandung dari kedalaman
cukup maut saja yang tahu kebenarannya
Burung Pemikat
aku tak bisa mempercayaimu
kata-kata serupa getah
mencabut bulu-bulu, mengurungku dalam pelukmu
kita sepasang burung liar yang terperangkap
di sangkar sempit
lalu, entah siapa yang memulai, kita bersepakat
terbang
–setelah satu-satu sayap kita kembali tumbuh
menjelajahi angkasa, menukik ke pucuk daun
melupakan rumah yang lama
kau mengepak terlalu tinggi
sayap-sayapmu kokoh dan begitu gagah
di pokok-pokok rindang, kau bersiul nyaring
bulu dan suaramu menggoda pemikat menaruh
perangkap
di alam bebas begini. aku begitu takut sendirian
bukan atas ancaman dan gunjingan
aku terbiasa berumah sempit
mengenal hal-hal sederhana, berbagi tempat
denganmu
sedang kau dalam sekejap
menjadi burung pemikat
menggoda di celah getah dan perangkap