Pareidolia Hujan – Kereta Akhir September Basah – Dieng
Pareidolia Hujan
Aku tidak percaya
jika hujan lekat dengan kenangan
dan ingatan-ingatan tentang masa lalu.
Bagiku, hujan adalah wujud lain dirimu.
Yang pada setiap rinai dan kecipaknya
dapat menerjemahkan wajah tirusmu.
Kereta Akhir September Basah
Sekitar Lempuyangan, deret kaki lima begitu ramai
orang lalu lalang datang kemudian pergi,
musik dangdut, koplo, campursari tidak mati-mati.
Ini sekian kali kulewati jalan yang terburu-buru,
sesak gelisah, dan sedikit senyum pura-pura.
Pada akhir September basah yang sesekali memerah
sebelum kereta melintas di tepi jalan yang resah,
waktu tetap menggulir sebagaimana degup dada berdesir.
Di salah satu sudut simpang palang pintu kereta
anak-anak putus sekolah berlarian,
menghitung gerbong yang berlepasan.
Mereka tertawa, menyelipkan impian
ke dalam saku celana yang berlobang,
ke dalam kecemasan yang melaju
secepat lintas kereta menuju stasiun selanjutnya.
Dieng
Sebentang jalan memanjang.
Aroma pupuk kandang dan belerang
seperti kasihku padamu, kangenku.
Tak akan hilang meski embus angin
secepat detik waktu yang terburu.
Kesiur pohon dan sayur mayur
tak akan sunyi, meski musim banal
bikin panen gagal dan petani sebal.
Kangenku padamu, kasihku
merawat segala yang hangat,
sedang dingin, adalah ihwal
yang membikin kita tetap terjaga.