Batang – Alas Roban – Terompet – Cerita Di Taman – Menulis Di Pohon
Batang
di alun-alun kota, kita membentangkan kisah usang:
Kalisalak mendadak jadi kampung yang riang
jalan-jalan berbatu menjadi ruang untuk bermain
layang-layang
dari pemuda dusun hingga Sultan Mataram
orang-orang membuat janur di rumah masing-masing
lalu memasangnya di mulut jalan-jalan desa
mereka merakit bukit menjadi kebun-kebun
bercahaya
seperti merawat kasih sayang pada semesta
“Dewi Rantan Sari, namaku,” katamu pada batangbatang
padi
yang sebentar lagi menguning, pada pohon-pohon
kelapa
yang tak henti menggerak-gerakkan nyiurnya
“Aku adalah daun-daun yang tumbuh di alis matamu.”
“Bhahurekso julukanku,” ujar lelaki itu,
sambil melepaskan seribu anak panah ke tengah
sawah
“Akulah hujan yang turun di batang-batang padi
Sekaligus payung untuk rambut panjang Dewi Rantan
Sari.”
Kalisalak mendadak jadi kamar pengantin
bagi sepasang pohon yang kasmaran
mereka menari diam-diam, dalam diam, sambil
menyusun
ranting menjadi batang-batang kayu di Alas Roban.
Dan di pendopo Sultan Mataram, daun pintu dan
jendela berderak
seperti petir terus berkilatan, seperti orkestra brutal
menyambar-nyambar gelas dan piring-piring makan
merobohkan tembok-tembok di halaman
Alas Roban
Akhirnya tiba juga titah itu: “kau harus
menumbangkan
Pohon-pohon, juga jin dan siluman, yang membekab
bukit itu.”
“Siap baginda,” katamu, sambil melecut sepasang
kuda
dan membunyikan lonceng di pojok-pojok desa
Batang-batang kayu rebah, beberapa tubuh rubuh,
tanda takzim kepadamu, kepada Ki Ageng Cempalek,
Kepada Sultan Mataram yang mengirim petir hingga
ke hilir
Sebab rambutmu telah keriting dan harus diluruskan
Akhirnya kelar juga titah itu, batang-batang kayu
menjelma rumah-rumah, kebun, palawija, jalan
setapak,
juga bentangan sawah dengan biji-biji padi
yang terus melafalkan bait-bait doa kepada Yang
Maha
Akulah lelaki itu, Bhahurekso itu, katamu.
Terompet
aku telah membuang bunyi-bunyian itu
jauh sebelum kau menulis daftar menu untuk tahun
baru:
tusuk sate, pentas dangdut, suite room, sepatu, dasi
kupu-kupu juga kekasih baru.
namamu ada di balik dompet
terlipat bersama uang lecek kembalian dari tukang
ikan:
saling berbalas senyum dengan para pahlawan
yang kau kenal tadi siang
dari jauh sepasukan berkuda menyerbu ke utara
seperti mengejar musuh yang celaka:
darah menetes dari puisi-puisi yang kesepian
memerahkan sepanjang jalan.
Cerita Di Taman Topi
sepasang burung tua, segerombolan hujan, dan
mata sore yang muram menulis riwayatmu:
topi-topi seperti rumah-rumah yang tak pernah
dicintai, ramai namun sunyi
kita menulis sajak di Stasiun Bogor
lalu melempar diksi-diksi tak terpakai
ke luar jendela: mengapung di genangan hujan,
tergilas roda kereta
mata sore tetap basah meski bibirmu sebeku salju
kau bertanya tentang pagi yang riang
awan berarak mengikuti matahari yang menari
di bangku-bangku taman, di jalanan berpaving block
aha, kita telah menjadi penyair kesiangan
membasuh diri setelah kamar mandi dipatok ayam
kau menjelma burung dara yang tak lelah melompat
dari dahan ke dahan
adakah yang lebih sejuk dari hujan di kakimu
dibuai nyanyian pohon dan angin dari pebukitan
kau mengunci matahari agar tak beranjak dari timur
agar puisi-puisimu menjadi lebih panjang
tapi di stasion kereta berkali-kali meniupkan sangkala
sambil berkata: wahai burung-burung tua
telah kusiapkan sepetak lahan basah dan tahi angsa
tempat kau menanam padi dan palawija
pohon-pohon itu masih menyisakan jeritan-jeritan
orang dengan leher menggantung di tangan kompeni
karena mereka membakar rambut para biduan.
Menulis Di Pohon
aku menulis di pohon tentang mangga tua
baunya ke mana-mana.
ubanmu tak lagi menyanyikan lagu-lagu dari aksara
biru
ia kini jadi batu. beku. pilu.
jadi etalase yang membuat kepalamu ditumbuhi
lumut
dan pohon-pohon palma
kau berjalan seperti siput
menyusuri huruf-huruf bunting di gang becek itu
bak pelacur rindu ciuman
aku menulis di daun-daun
tapi jangan sebut aku penyair ranting
yang segera luruh diterpa angin
aku adalah mata rencong
yang siap mencukur ubanmu yang cemong,
melesap sampai di matamu
yang selalu menghijau di depan selembar daun
dan membiru di lautan
di pohon, aku mengamini
cericit burung dan cahaya senja
yang memerah setiap kau alpa
kau terus mengasah pisau berkarat
untuk memangkas akar-akar yang makin kekar
menjalari perut bukit dan kampung-kampung
kau membayangkan tentang pulau-pulau
dengan para penyair yang risau
puisi-puisi menjadi kayu api untuk memanaskan kopi
o, pohon tua yang tak lagi tumbuh
dengan ranting yang mulai patah
segeralah berjalan ke barat bersama sore yang lindap
dan di sini, meskipun bukan ruang berpendingin
dengan gelas-gelas kopi yang berdenting,
puisi tetap tumbuh dan abadi
seperti daun, seperti pohon
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Mustafa Ismail