agama ikan – agama sungai
agama ikan
aku tak pernah tidur,
tapi aku bukan tuhan.
mata dan air, saling membuka pintu
dalam tubuhku
saling membuat gelombang bunyi
dari gemetar cahaya pagi
tak saling berbantah tentang
akidah langit yang kekal
tak saling menyumpah tentang
kaidah laut yang liar
apakah mata dan air,
satu agama?
bukan. mata bukan air, dan air
bukan mata yang tak bisa tidur.
air, adalah dunia tempat mata berenang
melihat tuhan terjaga.
dan karena aku bukan tuhan,
aku tidur dengan mata terbuka.
agama sungai
ia hanya berdayung, dari tepi ke tepi. setiap pagi,
ketika sebuah doa tersangkut di jala, dan membuat
luka robek makin menganga. tapi sungai ini, diam saja
seperti seseorang yang terbujur, terpiuh di ujung nyawa.
ia tak sendirian. menjadi pendayung adalah pilihan untuk
tidak menjadi sampan. menjadi sungai adalah pilihan tabu,
sebab sungai memilih menjadi ibu. ibu yang sudah tak lagi
mencuci rambutnya, sejak punggung sejarah menghadap kota.
maka dari tepi ke tepi, dari pagi ke pagi, yang ia dayung
adalah tubuh ibu, ia berdayung di atas tubuh ibu. tubuh
yang tiap malam tak berlampu. yang tiap petang merapal
remang dari dongeng terubuk, dari telunjuk kutuk. tubuh,
yang bertahun-tahun menyaru menjadi patung di istana.
maka saban azan, yang ia panggil adalah hulu. tuhan di sana,
tuhan di sana. selalu ia berteriak kepada tepi, kepada pagi.
tapi tepi dan pagi, adalah juga birai pada kain, yang ia dengar
hanya sengal gelombang, di ujung gaung sebuah zaman.
[1] Disalin dari karya Marhalim Zaini