Aku Sekarang Masih Berjalan – Gemuruh Rindu Mengalir – Jika Musim Hujan Ini Berakhir – Kau Lihat Lidah Ombak
Aku Sekarang Masih Berjalan
Menuju Taman Bungamu
Jalan yang membentang di hadapanku
menuju taman bungamu, terlalu banyak jurang
curam
engkau apakah masih menungguku
yang entah kapan sampai?
Kesetiaan bukit pada laut, kecintaan angin pada
lembah; kuharap engkau pahami
Sehingga bagaimana pun engkau berdiri di
atas bukit
dengan tatapan jauh ke laut; sikap suka mengalahmu
dan rasa cintamu senantiasa terjaga, bersandar
di lengan
Allah. Aku sekarang masih berjalan
menuju taman bungamu, tentu, dengan perlahan
dan sangat hati-hati. Ou, Weisku!
Gemuruh Rindu Mengalir
di Sela-sela Sunyi Bebatuan
Melihat gunung yang tinggi dan jauh
hal apa yang sesungguhnya engkau lihat?
Adakah engkau bayangkan seseorang
tengah berada di pundak gunung itu
tengah memetik edelweis untukmu
dan ia bermandi kabut dalam langkahnya
yang lelah
Atau engkau membayangkan, air terjun
yang turun dari ketinggian terjalnya
bebatuan cadas, dengan suara gemuruh
serupa gemuruh rindumu
mengalir di sela-sela sunyi bebatuan
Pejamkanlah matamu, ada pelangi
yang turun dari pundak gunung itu
membelah lembah, dan turun di halaman
rumahmu yang sangat sederhana
Dari pelangi yang jatuh itu
muncul seseorang yang di tangannya
menggenggam edelweis, dan –
o, mengulurkannya kepadamu!
Jika Musim Hujan Ini Berakhir
Jika musim hujan ini berakhir, apakah kabut
masih turun dari bukit dan lembah
tempat kita dulu memetik edelweis?
Mudah-mudahan kabut sudah menipis
dan jalan setapak ke lembah dan bukit itu
bisa dengan mudah kita susuri
Tetapi aku harap– engkau tidak terlalu
mendambakan; sepasang kupu-kupu
bersayap pelangi
menziarahi kubur kenangan
yang bertabur serbuk edelweis!
Kau Lihat Lidah Ombak
Memecah Tebing Karang
Kalau kemudian kaulihat lidah-lidah ombak
memecah di tebing-tebing karang
Ketika kakimu gemetar di bibir pantai–
keriduan
serupa apa yang hendak kaularungkan
ke laut jauh yang dalam?
Masa lalu kelam dan dendammu
yang mengendap dalam dadamu,
muntahkan
muntahkan, muntahkan ke laut lepas hingga
tandas
hingga tak ada lagi sembilu dan sebutir pasir
yang panas dalam dada
Berenang engkau sambil berteriak-teriak
sekuat tenaga
sekeras-kerasnya. Lalu kautuliskan citacintamu
di pelangi yang jatuh ketika senja merah
kekuningan
Apakah engkau masih ingin berumah
di tepi laut hatiku?
Ah, terlalu pahit untuk dilupakan!
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Eddy Pranata PNP
[2]Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 25 Maret 2018