Sajak Kasih
1
perjalanan pada serat-serat cahaya
membuat kita sepakat, saat
senja kecil tak lagi menatap kita
patah pada aksara
2
beberapa kata purna menggantung
pada langit-langit awan putih
berjalan beriringan, membawa cahaya
layaknya daun yang jatuh dari dahan
mengikuti jejak angin yang menggandeng
meniti udara, bersama
erat pada ruang kedap suara
matamu berkaca-kaca
3
kau menatapku kaca, malam ini
pada udara dingin yang mengenal takdir
redup matamu adalah debu
yang menebar hening pada ruangan tak kasat
4
kita saling mengenal tanda yang belum diakhiri
sebuah kalimat percakapan manusia
mengusut pada labirin untuk melepaskan diri
mengenalkan kita pada beberapa kata tua
pertemuan membuat kita menua, senja
semakin sempurna dalam hujan
dendam dalam wajah terasmu
tersapu rerintik butir hujan yang terseret
5
dalam kotak-kotak labirin yang rapi
kau berjalan mengitari empat sudut
mencari jawaban akan pertanyaan yang belum diajukan
/bagaimana bisa kita menciptakan keadaan nyaman?/
katamu pada ranting belukar yang mengering
mengepung lingkar kepala purba
saling membatasi ucapan perihal luka
/mulailah bertanya/
keadaan yang masih sama akan senantiasa menjawab
bahkan tanpa ditanya ia akan menjelaskan
tentang apa yang harus diterima oleh telingamu
/tentu kita ingin sebuah partitur merdu/
6
matahari mengerti
mengenang gerimis
pada sajak-sajak ini
kita tergenang
7
dalam ruangan ini
kau terperangkap antara sederet kata
menerka berbagai isyarat
perkara yang tak mau menua
daun-daun gitar yang kau petik sore ini
pada sela-sela jari yang memuat partitur doa
telah lama dalam ruangan tak bersuara
tergesa hinggap pada tiang-tiang teras
langkah kita lenyap mendidih
tak terdengar suara derap
yang mengambang
menghapus beberapa perkara
8
dadamu telah usai berdetak
terjatuh, menabrak, dan tumbuh
menjelma merpati putih
yang setiap waktu mengepakkan sayap
pada angin yang menggugurkan daun
saling menghitung mundur angka bias
terjatuh sendirian dan berhenti di luar waktu
menyusuri setiap ceruk kenangan
9
bayangan kita berlalu
terbang pada frasa
amanat yang digarisbawahi
oleh lengkung hujan
10
kau menceritakan makna
di pinggir kolam ikan
di bawah pohon angsana
yang kuciptakan sendiri
Arif Tunjung Pradana, lahir pada 16 Juli 1997 dan besar di tanah kelahirannya Wonogiri, Jawa Tengah. Mengenyam pendidikan di Universitas Sebelas Maret.
[1] Disalin dari karya Arif Tunjung Pradana
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 24 Juni 2018