Kerokan – Rizki Kehilangan Doa – Seekor Burung Muadzin – Doa Kecil – Sajak Seorang Peminta – Hujan – Lahar Kenangan
Kerokan
Rinduku sedang demam, ibu
Kemarin ia hujan-hujanan
Mengejar kenanganmu yang berlari kencang menuju
kuburan
Sudah segala obat mujarab Aku makan
Agar kesedihanku cepat hilang
Tapi, kesepian seringkali menjelma kutukan
Rinduku menggigil kesakitan
Ia hanya butuh kerokan, katamu
Sedang tak ada lagi tangan
Yang sudi merawat tubuhku
Bahkan, tanganmu
Waktu lebih dulu mencurinya dariku
Dan puisi ini sama saja dengan sajak kematian
Entah sampai kapan
Rindu ku mampu bertahan
Jika padamulah segala jalan kesembuhan
Telah dihapus Tuhan.
Rizki Kehilangan Doa
Ketika rizki kehilangan doa
Cahaya dupa pun menyala
Dari tiap- tiap jantung kota
Menyulut pagi yang buta
Tanpa matahari ia berjalan sendiri
Menembus kabut yang mekar
Di antara bunga-bunga embun terbakar
Pikirmu
Kenangan itu adalah pohon-pohon walitis
Yang tumbuh dengan diameter sebesar rindu
Siap ditebang jadi perahu
Dan mengantarmu
Jauh…
Sebelum Nuh Karam
Jadi kesepian di tenda-tenda pengungsian
Pikirku
Kenangan itu tak berkampung halaman
Ia seperti makam ditinggal penghuni
Mudik Lebaran
Dan ke surga barangkali
Ia jadi ular
Menunggumu dengan sabar
Buah terlarang itu
Tak pernah ada dalam diriku, katamu.
Seekor Burung Muadzin
Seekor burung Muadzin itu khusyuk
mengumandangkan azan
Di telinga koran pagi ini
Lima waktu sehari semalam
Orang-orang saleh pun disibukkan
kabar
Burung terbang dari sebuah kitab
suci
Ada yang menduga barangkali para
nabi dan wali yang sengaja melepas
sangkarnya
Sebagai pengingat umat manusia
Ada pula yang menyimpulkan
Dia hanyalah sebagai tanda saja
Dari sebuah kiamat kecil di dunia
Mereka yang tak beriman
Justru menganggapnya sebagai titisan setan
Karena di hutan rumahnya
Telah hilang dan dia marah
Ingin balas dendam
Ada juga yang menafsir lain
Menggunakan bisikan- bisikan dalil
Musim dan angin
Menggetarkan jagat Raya
Lewat kabut asapnya
Tapi, Tuhan telah menegaskan
Sedemikian terang bahwa
Seekor burung muadzin
Hanya ditugaskan untuk mengumandangkan azan
Di telinga koran pagi ini
Sementara padamulah obituari
Manusia sungguh bebas
Bebas…
Memilih sesuka hati
Bagaimana cara kematiannya
Sendiri- sendiri.
Doa Kecil
Jika Yang Maha Besar itu segalanya hanyalah milikMu
Maka doaku kecil saja
Semoga segala sesuatu dalam kepala tidak terbuang
sia-Sia
Lalu Kau bertanya
Apa yang ada dalam kepalamu?
Bukankah hanya seekor ular
Yang bergulung menunggu
Buah cinta dan rindu jatuh Dari pohon itu
Lalu Aku jawab
Tidak.. tidak.. tidak..
Di sana masih ada sepasang jejak kekasihmu, Tuhan
Yang bersetia di rimba kesepian
Ia menghamba nama- nama yang telah hilang
Sebelum akhirnya
Kau pun kembali datang
Memberiku sebuah jalan berpulang
Hanyalah kepada kesendirian.
Sajak Seorang Peminta
Telah kuberikan engkau pintu terbuka
Untuk sekedar singgah
Memulangkan tangan tangan Tuhan
Yang tengadah
Dari langit surga dijatuhkan
Lewat ketukan ketukan maut Yang
mengumandangkan hujan
Engkau telah berjalan berhari- hari
Menjauhkan lapar dari denyut nadi
Tapi, diperutmu kini seekor ular mendesiskan
kematian
Berkali- kali
Mulutmu koyak berkat doa
Yang dimuntahkan sia-sia
Sebab rumah itu telah kosong jadi pusara
Sejak Kau mengetuknya.
Hujan
Ia datang mirip seorang biduan
Ketika senja meniup seruling dari balik bukit
Dan malam perlahan menabuh kendang langit
Bulan bergoyang dan bintang- bintang menari riang
Berulang- ulang
Suaranya menggetarkan jantung kota
Meninggalkan napas yang masih juga terasa dan
tercium sepanjang waktu
Merinding ingatanmu
Saat petir kembali melagu
Kau masih saja terbayang wajah cantiknya
Yang tak kenal musim di rumahmu
Genangan- genangan itu
Mengalirkan nada- nada cinta dan rindu.
Lahar Kenangan
Begitulah, tenang aku akanberdoa
Meski tak tahu arwahmu bersembunyi
Jadi apa;
Talup, yoni, arca, atau batu-batu candi
Dan setelah dikremasi
Di rumah panggung kayu yang hangus
Terbakar itu
Abumu hendak kubawa berziarah
Dari zaman ke zaman
Sebelum kembali kutimbun dengan
Muntahan lahar kenangan;
Akan dirimu adalah kabut
Berkawah belerang
Tanpa bunga-bunga eldeweis
Tumbuh mekar di tepian sebuah kolam
Kemudian menelurkan segala
Ingatanku; adalah kota-kota
Yang dibangun dari tangan- tanganmu
Tuhan.
Budi Setiawan, lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 5 Juli 1992 merupakan alumnus Universitas Muhammadiyah Magelang jurusan ekonomi manajemen. Saat ini bergiat di komunitas seni Turonggosetro. Beberapa puisinya termaktub dalam antologi bersama, di antaranya 100 Puisi Qurani (2016), Puisi untuk Indonesia (2017), Sajak untuk Saudaraku (2017), dan 100 Sajak untuk Gus Dur (2018).
[1] Disalin dari karya Budi Setiawan
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 29 Juli 2018