Donggala – Ombak Plengkung – Madura, Jalur Tengah
Donggala
Donggala, bandar besar
pelabuhan kopra
gudang-gudang tua,
dinding merah seng berkarat
bilah-bilah renggang kayu dermaga,
satu-dua kapal berangkat
Telah mekar sawit-sawit remaja
di selatan dan di utara
gudang-gudang tua,
pelabuhan dermaga lama
tuan tinggalkan
Kami yang setia
pantang mengumpat
walau kehilangan.
2015/2018
Ombak Plengkung
Ombak demi ombak berbaris tegak
dan melengkungkan diri bersama-sama
menuju tepi. Lalu sujud berdebur
di sajadah panjang
pasir dan karang
Di atasnya, papan-papan melancar
Perahu-perahu berlayar
Ke matahari
2017/2018
Madura, Jalur Tengah
Jagung dan tembakau
tumbuh di antara bidara-bekol
Bayang-bayang teduhnya
memayungi gadis-gadis
dengan tugal di tegalan.
Mereka menyanyi
membungkuk memasukkan
biji-biji kedelai hitam
Seperti memutar biji-biji tasbih
sehabis rukuk malam-malam
di langgar kecil tak berpagar.
Batu-batu tumbuh di antara rumah-rumah
yang kian menjauh dari tanean lanjeng
Rumah-rumah tumbuh di antara batu-batu
yang keras kepala serupa lonceng
Selingannya semak-semak, jalan tanah,
dan lebuh debu ke rumah ibu
Saban pekan ditempuh bawa anak gelak di bahu
Di antara itu membentang satu jalan utama
berkelok-liku tanpa rambu
selingan gadis-gadis main ke kota
pada suatu hari minggu. Maka udara kota
bau jagung bakar dan hangus tembaakau di bibirmu!
Ah, di antara semak dan bidara
siwalan menderai sampai jauh…
di jalur tengah tanah madura
Aku pun tiba, selamat sentosa
di pantai utara: panas keringat terbagi rata.
2018
*Tanean lanjeng = halaman panjang tempat rumah induk dikelilingi rumah keluarga besar.
*) Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Menetap di Yogyakarta, mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah.
[1] Disalin dari karya Raudal Tanjung Banua
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 5 Agustus 2018