Limbubu Itu Datang Lagi – Pantun Jenaka dari Ibu
Limbubu Itu Datang Lagi
bila subuh datang, suara periuk dan abu beterbangan
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak berdengung
sesekali bunyinya berisik,
lalu desau angin mengantarkan dingin
dari limbubu sampai abu terasa sama, tidak dapat akal
lagi untuk membedakannya
terus — suara radio bapak berisik saja
tidak dapat diam kurun waktu yang lumayan lama
di luar, suara orkestra melayu dari radio bapak hilang
aroma kemenyan menyelinap masuk diam-diam
kata ibu, “pajanglah marawah, pajanglah marawah kaum
sirah!”
Pesisir Selatan, 2018
Pantun Jenaka dari Ibu
dulu sibuk menanak
sekarang sibuk memasak bubur
dulu sibuk mengasuh anak
sekarang sibuk mengasuh cucu
dulu sibuk badungan
sekarang sibuk di buaian
dulu sibuk melelapkan
sekarang sibuk mendendangkan
… aku ingin kanak-kanak lagi; dibadung, dilelapkan, dibujuk
ketika menangis
Pesisir Selatan, 2018
Di Rumah Kita, Puan
di rumah, tepat kita menanak dengan pengapian seadanya
juga kuali reyot peninggalan nenek masih betah
kita kumpulkan arang-arang yang berserakan
menjadikannya sebagai pengepul asap,
mengajak api bertahan menghangatkan kuali
Disanalah dialog dari muncung kita sempat berkata-kata,
mengulang kaji lama yang pernah ada. Butir nasi yang
pernah kau jadikan rimah, dan pecahan pinggan kanso
membuat bagian kakiku luka. Kau pikir tidak sedemikian
drama kala itu, hanya ada lauk dan nasi berserakan.
Tidak untuk pinggan kanso yang pecah. Kau tekankan,
kitalah yang membuat kegaduhan itu. Sebab tungku kau
panaskan dari arang dan kayu kepahitan, berlumuran
kecewa untuk menjadi api berkobar.
kita saling menatap, menyelami mata maing-masing
dan kau mengangkat kuali dari tungku
“susunlah kenangan, ambil sebakul ubi dan santaplah
dengan lahap”
Padang, 2018
Perintang-rintang Hati
aku simak kala itu, saat kedua tanganmu mengajarkan
kaki mungil berjalan
ribuan kali bersentuhan tanah,
lutut yang lebam dan kau tak henti mencari pengalihan
1/
itik selati kita bertelur
enam telurnya dimakan ayam kampung
kaki anakku sakit dan dia menangis
bantulah sehat biar cepat kembali berjalan
2/
burung pinang bersura merdu
hinggap di pohon siang malam
rumah kita terasa sendu
karena suara tawa kesayangan hilang
3/
dendang ibu semakin larut
terbawa angin ke selatan
usahlah ibu meratap tangis
sebab sudah besar bujang akan berjalan
4/
kemudian pantun jenaka itu meluap menjadi perintang hati
mengairi segala pematang wajah,
tiada guna pengganti guna
kelak nanti juga akan bersua
Pesisir Selatan, 2018
Arif Purnama Putra, berasal dari Surantih, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
[1] Disalin dari karya Arif Purnama Putra
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 9 September 2018