Sahabat Angan-angan – Sahabat Impian
Sahabat Angan-angan
Berderet dan berjajar waktu sorot matamu
Seakan-akan menawarkan ajakan cahaya
Bersama-sama menuju sebuah persinggahan
Sekaligus perteduhan yang teramat sunyi
Manakala pagi masih berselimut kabut
Membayangi gerimis yang dikirim angin
Kenangan demi kenangan serasa berlipat-lipat
Di kening menyerupai garis berderet-deret
Sebagaimana isyarat tentang kehidupan
Lalu kemana cinta kita mesti ditambatkan
Jika pelangi justru semakin tak jelas warnanya
Dan kepastian masih sebatas tawar menawar
Jogja, Agustus 2018
Sahabat Impian
Sungguh pun pernah kau titipkan
Sebagian keresahan jiwa pada diriku
Ternyata tidak bisa memastikan
Impian dan harapan jadi kenyataan
Sebab tetap saja angin terus bergasing
Memporakporandakan nyenyak tidur
Dan apa bisa waktu diputar kembali
Sekadar untuk mengenang jabat tangan
Mencatat kembali ikrar kesetiaan
Yang tiba-tiba patah tanpa ada firasat
Menjadikan apa yang pernah diucapkan
Disumpahkan berubah jadi angan-angan
Jogja, Agustus 2018
Sahabat Rindu
Mengenang senyum dan tangismu
Sepertinya tiba-tiba rindu mendera-dera
Mengingatkan janji yang menggores luka
Seiring dedaunan berjatuhan di tetanahan
Menjadikan diri seperti tak memiliki arti
Manakala harus meneriakkan kata-kata cinta
Mengenangmu bagai menderetkan waktu
Sebuah kisah yang robek tercabik-cabik
Memaksa diri menyembunyikan tangan
Menyembunyikan kaki di balik bayangan
Sebab tak mungkin lagi tangan kita
Tak mungkin lagi kening kita bersentuhan
Jogja, Agustus 2018
Sahabat Air Mata
Tak terhitung waktu diri berkarib air mata
Bukan lantaran tangis yang mengiris hati
Tapi lebih karena ketakberdayaan menatap
Pemandangan yang mencabik-cabik jiwa
Oleh karena janji yang sengaja teringkari
Oleh karena kesetiaan cinta yang terkhianati
Apa kini masih bisa dimaknai lagi
Ketika halus tanganmu menyentuh tanganku
Sambil tipis bibirmu membisikkan sesuatu
Serupa janji cinta yang pernah kau ucapkan
Meski pada akhirnya semua berakhir sia-sia
Hanya menyisakan luka berkepanjangan
Jogja, Agustus 2018
Sahabat Senyap
Serupa arca diri berdiam di kesendirian
Mimiiin-milin nasib yang terus berputar
Hingga pandang mata berkunang-kunang
Mempersaksi cinta yang tak selesai kisah
Menjadikan diri tak kuasa menahan angin
Berputar mengombang-ambingkan jiwa
Sendiri menatap dan menikmati kesunyian
Menenggelamkan diri dalam ketakberdayaan
Tangan tak lagi mampu melingkar di dada
Kepala pun teramat berat untuk menengadah
Manakala bayang-bayang wajahmu tiba-tiba
Menyelinap di dalam senyap tarikan nafasku
Jogja, Agustus 2018
Sahabat Cinta
Barangkali tak bisa lagi diulang
Kisah cinta yang seumur kerdipan mata
Tak sempat kudekap hangat tubuhmu
Selain tak lebih hanya kecupan di kening
Yang sama-sama diwarnai keragu-raguan
Karena cuaca demikian memekat di mata
Barangkali hanya kerinduan yang tersisa
Sesekali memaksa kita bertemu kembali
Meski kita sama-sama menyadari bahwa
Tak mungkin lagi tangan erat bergandeng
Yang tersisa tak lebih hanya penyesalan
Lantaran cinta tak menyatu di satu bingkai
Jogja, Agustus 2018
M Haryadi Hadipranoto, alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Ketua Forum Sastra dan Budaya Yogyakarta.
[1] Disalin dari karya M Haryadi Hadipranoto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” edisi Minggu 30 September 2018