Di Tugu Tunggu
Di Tugu Tunggu
Di pusat kota
Barisan awan berderap
Langkahnya mengusik pertapaan
Wajahku menderu tatapi tugu tunggu
Yang dikelilingi punggung-punggung
Serupa siluet tubuhmu
Kafe melambai-lambai ingin menjadi saksi
Kematian temu
Kelopak senja mengharum
Tabuh pusaran rindu
Di atas meja
Makanan sudah mau habis direnungi semu
Minuman sudah mau reda dibayangi senyummu
Dan lampu berdua, cahayanya sendiri terangiku
Selat mana yang kau arungi?
Trotoar telah dapati kuningnya
Sedang aku belum kau lumati hitamnya
Rindu
Ketika tirai menutupi mahkota
Pagar melingkar memeluk kuncup
Kembang malam keluar dari sangkar
Menjelajahi kehidupan
Yang terkadang memerah, merekah
Yang terkadang menguning, terhempas angin
Kelopalaiya hitam legam
Penuh bekas hantaman
Dingin yang beringas bertalu-talu
Benang malu. Mengucup bibir pilu
Malam yang tidak pernah sampai
Menuju pagi. Menyambut awan putih
0, ke mana tangkai harus mengarah
Matahari terlalu sarat
Apakah pintu-Nya terbuka
Bila dimasuki rembulan
Yang menyamar kembang malam, pesakitan!
Santika, lahir di Cianjut. Bergiat di RSC (Ruang Sastra Clanjur).
[1] Disalin dari karya Santika
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran Rakyat” Minggu 25 November 2018