Dunia Karet
Dunia Karet
Aku kenali jiwamu yang berkarat dalam hiruk-pikuk perburuan
Dunia ini telah rapat dibungkus karet yang mementalkan kepalamu
Dan kau saksikan abad yang makin gusar
Komputer-komputer yang makin dungu dan liar
Tidak tunduk lagi pada program programmer
Dan cinta? Masih percayakah kau pada yang namanya cinta
Dan pintu-pintu jiwa bersalju ternganga untuk sekedar berkeluh-kesah
Dari keruwetan-keruwetan sehari-hari yang dipojokkan dalam perebutan
Kaisan sebutir nasi. Makin gamblang kau saksikan dunia karet
Yang berkristal-kristal terbentuk dari kecanggihan rekayasa manusia itu sendiri
Dunia lempung dan batu-batu dari wujud dunia yang asli
Telah lama masuk ke dalam museum seperti fosil-fosil manusia purbani
Dan kau, sadarkan bahwa kau hanya bola
Ya, bola yang ditendang dari sudut-sudut benua
Kau adalah jamaah dari chanel-chanel televisi yang mengambang di udara
Kau adalah setancapan wayang kulit di gedebok dari sebuah negeri masa depan
Kau adalah bangkai masa kini yang mengapung di rawa-rawa semilyah wajah berdebu
Asing dan sendiri
Kudus, 2018
Gunung
Aku ini gunung
Paku bumi di gegar tanah mati
Di jerit perih kemarau
Aku pertapa agung
Pantang pulang sebelum bumi digulung
Sebelum langit bosan berkalung bintang
Dan embun
Tapi para pemulung
Yang perutnya busung
Kami lebih dulu digulung
Kini aku mayat tanpa kepala
Tanpa nisan dan pusara
Buat ziarah dan cerita
Tentang cinta dan cahaya.
Kudus, 2018
Langit
Aku ingin seperti langit yang tak kenal timur
dan barat, utara dan selatan
Tapi ia pemilik seluruh arah untuk meneruskan
perjalanan
Entah aku akan tiba di taman atau rejam penjara
Sesudah melewati beratus-ratus tikungan
Sesungguhnya aku ingin berbalik dan memulai
dari awal,Tuhan
Banyak langkah yang harus aku luruskan
Tetapi engkau selalu menghardik untuk terus
berjalan
Dan membisikkan dengan nada yang memperingatkan
Jejak hanyalah abu dari sampah yang dibakar!
Kudus, 2018
Laut
Aku ini laut
Ombak yang seperti kemelut
Yang seperti maut
Nikmat harum terhirup
Pantai batas gelisah gelombang
Bagi ikan, ganggang dan batu karang
Pantai debu-debu rindu yang selalu dicumbu
Oleh lidah ombak yang sarat kisah dan lagu
Tak pernah kubiarkan gelombang surut
Sebab aku sudah kadung kepincut
Oleh julur ombak yang seperti kemelut
Yang seperti maut.
Kudus, 2018
Pemahat
Pemahat waktu melumat remah usia lalu
Jajaran tanah bisu tunduk mendebu
Langit setia mengirim kabar rindu
Yang tak habis disusu seperti rumah ibu
Pada sebuah negeri selalu ada kota perbatasan
Yang dilatih hanya untuk mengucap salam terakhir
Bersama maut angin dan awan menari
Di tepi sunyi bayi-bayi riang bernyanyi
Cukilan pahatan terus menggunung
Kita semakin tak sempat merenung
Kini pahatan kian penuh ukiran
Menampak wajah Tuhan dan Setan.
Kudus, 2018
Penulis lahir dan bermukim di Kudus. Kini sedang menyelesaikan buku yang bertajuk: Orang-orang Usiran.
[1] Disalin dari karya Amir Yahyapati ABY
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 2 Desember 2018