Menuju Fana
Tafsir Gunung (1)
seperti menhir
batu panjang menjulang tunggal
tegak pada putaran masa dan kuasa nasib
bukan karena perkasa namun disekap pasrah
tak sanggup menerka ramalan-ramalan
cuaca, arah dan bilangan-bilangan
serupa menhir
batu tunggal menjulang panjang
hanya mampu menjadi sekedar penanda
batas-batas asing yang kabur
lambang tubuh yang dipendam pasir dan batu
2018
Tafsir Gunung (2)
di ketinggian serupa phalus menjulang
adam menyembunyikan sisa rusuknya
yang kelak akan dimantrai menjadi gairah bercumbu
“di antara batu-batu itu akan kusembunyikan perempuan pesona itu!
guru tak akan tahu dan segala kitab alpa mencatatnya!”
segala tebing serupa phalus tetap bergetar
oleh syahwat di ubun-ubun
berubah kelelawar-kelelawar berdesir
beterbangan berebut merajut sangkar di selangkang
di batu-batu itu, di ketinggian itu
dipahat riwayat birahi sepasang perayu
2018
Tafsir Pesisir
lebih beku dari larut paling malam
lebih muskil dari siluet kabur di halimun
mencatat jejak-jejak samar di pasir pesisir
maka:
kisah-kisah itu bangkit kembali
melambai-lambai pada keanehan-keanehan masa kecil
yang diabukan matahari dan asin air laut
ah, pesisir ini cuma ceruk waktu
pasir yang mengocok langit dan garam
merangkum kembali sorak-sorai anak-anak memburu
ubur-ubur dan cipratan-cipratan gelombang pasang
pesisir ini adalah ritual raksasa menghitung mundur
putar jarum jam
tempat menunggu nelayan pulang mengalahkan
musim
: melawan keriput menolak uban!
harapan dan ingatan boleh dikikis dan terkikis
seperti ganggang yang dipreteli debur ombak dan
sayatan mulut ikan
namun usia tak boleh takluk pada kehendak waktu
seperti para mualim tak pernah menangisi rindunya
pada segala syahbandar
di sepanjang pesisir legenda-legenda itu bangkit
kembali melambai
bertabik pada geliat karang dan kegaduhan perahuperahu
di sepanjang pesisir selalu ada yang menunggu mereka
yang melambai
di sepanjang pesisir masih ada yang mempertanyakan
sisa-sisa yang kabur.
2018-2019
Menuju Fana
/1/
selalu saja ada yang terbang. lepas dan melenggang
begitu saja.
seperti laron yang memburu pagi. memburu arah utara
/2/
dipanggilnya nama-nama itu, segenap nama yang
dihafalnya
namun semuanya berkelebat dengan diam.
dia mendengar lonceng-lonceng bergemerincing. seolah
berbisik
: mungkin ini malam terakhir. melambailah!
gemerincing lonceng itu mengguncang pelan
/3/
terburu-buru, ia akhiri doa yang mestinya panjang itu.
: ini musim penghujan. mendung meratapi bulir-bulir
airnya
sekejap lagi menetes diserap tanah atau ditelan laut
dahaga
/4/
antara ranting cemara dan gugur daun akasia
manakah yang lebih dicintai bumi?
Ngawi-gresik, februari 2019
*) Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969 dari keluarga guru. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di Unesa. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, budaya, sosial dan pendidikan dipublikasikan di berbagai media massa. Tingga; di Jalan Teuku Umar Ngawi.
[1] Disalin dari karya Tjahjono Widarmanto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 24 Februari 2019