Bukit Bintang
PENGUNGSI
Aku mengungsi dari cuaca buruk di matamu.
Aku tidak ingin tinggal di rumahku sendiri.
Suaramu menjadi monster dan menakuti
seluruh penduduk pulau di mataku.
Keningmu berkabutódan lidahmu menjelma
ombak raksasa yang menelan ratusan nyawa.
Aku menghindar dari erupsi mulutmu
yang bergemuruh di tengah pulau Selat Sunda.
Kutub, 2018
KRAKAL
Krakal, pantai centil paling nakal
yang melucuti keindahan matamu tak terduga.
Desau angin tenggara yang membelai telinga
adalah desau suaramu yang mesra di malam manja.
Kusapu seluruh keindahan, warna biru
pada kanvas laut dan batu bukit yang berundak.
Tak ada yang tersisa dari ketakjuban.
Kuas ombak yang memutih sepanjang pantai yang gemulai
Menuntun mataku pada kata yang adalah sabda,
yang tak tercatat kitab suci seluruh agama di Dunia.
Kutub, 2018
INDRAYANTI
Setelah menempuh jalan begitu jauh.
Aku mesti mendaki undakan di keningmu
Dan berharap menikmati kedipan matamu.
Dan memotret bulu alismu yang berombak.
Aku berdiri disela-sela rambut pohonmu
yang teduh. Aku pangkas sepi di rambutku.
Aku ingin terjun di matamu, hanya di matamu.
Dan berenang di laut kata dengan ceria
Tanpa ada kata dusta, atau rasa bersalah
yang menjelma bukit ganas.
Yang bakal memangkas kesetiaanku padamu.
Kutub, 2018
HUTAN PINUS
Ketika matamu sibuk mencemaskan tempat ibadah.
Pohon-pohon di hutan ini, sedang sibuk beribadah.
Ia lebih tua dan lebih sunyi dari pertanyaan-pertanyaanmu
yang berbahaya. Ia lebih kukuh dari imanmu yang rapuh.
Di Mangunan, keindahan adalah tapa bisu pohon-pohon
anggun yang menawan.
Segala kata yang bergelayut di udara
adalah sabda tanpa buku, dan kitab suci.
Adalah rumah ibadah yang tegak dalam sunyata.
Adalahósegala jalan yang menanjak, dan meliuk indah
bagi kata-kata yang berayun
menyerupai doa dan misi orang-orang suci.
Kutub, 2018
PUNCAK BECICI
Meski matamu adalah kuburan kecil yang terpencil,
aku tetap ingin berkemah di matamu.
Aku mengemasi barangku dan ingin tinggal lebih lama.
Setelah membangun tenda, aku ingin menyalakan api unggun.
Hujan yang mencemaskan mataku, meruntuhkan
harapan-harapan dan mimpi kita yang basah oleh badai.
Kita mesti mengungsi dari ketinggianómencari tempat teduh
yang jauh dari aduh atau sepuh angin kesepuluh.
Kutub, 2018
BUKIT BINTANG
Semoga dadamu selapang pandangan matamu
yang membelah rumah-rumah dan jalan raya.
Pagi yang mengantarmu pada banyak tempat,
pada akhirnya menyisihkan matamu
sebagai pengungsi sunyi, yang berlibur kesejumlah
keindahan alam raya:
”Pandanglah mataku sebagaimana kau memandang
dirimu sendiri,” katamu suatu waktu.
Kutub, 2018
Saifa Abidillah, lahir di Sumenep, 12 Januari 1993. Buku puisi tunggalnya Pada Sayap Kuda Terbang (Cantrik Pustaka, 2017). Saat ini berproses di Komunitas Kutub Yogjakarta, dan tercatat sebagai Alumni Studi Agama-Agama, UIN Sunan Kalijaga | “Kedaulatan Rakyat“.
Keterangan
[2] Arsip Puisi, Kedaulatan Rakyat, Koran Lokal ini pernah tersiar pada edisi Minggu (akhir-pekan) 31 Maret 2019